Jam 06.56 waktu Indonesia bagian barat, entah kemana sang surya pagi ini, tak nampak di angkasa sana. Aku merindukan sinarnya pagi ini, rasanya sendu hari ini tanpa hangat mentari. Mungkinkah akan turun hujan pagi ini? Aku berharap tidak, undangan bertemu dengan Kepala Sekolah adalah jam delapan pagi, bisa berantakan jika turun hujan.
Ke mana Dinda? Dia kemarin berjanji datang jam tujuh tepat. Aku melirik jam dinding, hampir menunjukkan jam yang dia janjikan dalam beberapa detik lagi. Dinda biasanya adalah makhluk yang tak pernah telat, akankah dia telat hari ini?
Aku menunggu sahabat baikku di teras seraya menghilangkan gelisah dengan membaca novel karya Kang Abik yang luar biasa, Ayat-ayat cinta 2. Tapi rasanya tidak bisa berkonsentrasi membaca saat pikiran sibuk melanglang buana seperti ini.
Sebuah motor matic masuk ke halaman rumah. Aku melirik jam dinding, tepat menunjukkan jam tujuh. Luar biasa Dinda, selalu datang tepat seperti yang dijanjikannya.
“Assalamualaikum,” ujarnya setelah melepas helm dan buff-nya, sebuah senyuman terukir di sana.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, perempuan yang enggak pernah telat sekarang membuktikan lagi komitmennya,” ujarku menyambutnya.
Dinda melangkah mendekat lalu memeluk tubuhku rapat, semerbak harum indera penciumanku. Aku yakin sekali ini adalah pewangi dari pakaiannya bukan, Dinda tidak pernah menggunakan parfum atau wangi-wangian apapun dengan alasan menggunakannya adalah haram.
“Afwan, ana telat ya?” ujarnya setelah melepas dekapannya.
“Enggak telat kok, Dinda. Tepat waktu seperti biasanya.”
“Alhamdulillah, mau langsung berangkat?’
“Kamu mau istirahat dulu enggak?”
“Bebas aja, Raya. Langsung berangkat juga ana okey aja.”
“Kita langsung aja ya, Dinda?”
“Yuk, biar agak santai ke sananya, lumayan masih satu jam. Kita bisa makan mampir ke kantin dulu sebelum anti ke ruangan menyeramkan itu.”
“Ruang menyeramkan, istilahmu itu sesuatu banget, Dinda. By the Way, kamu sudah sarapan?”
“Belum, tapi ana bawa singkong keju buat di sana.”
“Wadaw, mantap, Ukh Dinda.”
“Anti kalau urusan singkong keju pasti terwadaw-wadaw, Ukh Raya.”
“Ya gimana dong? Habis aku suka sih dengan singkong bertabur keju itu. Jadi teringat Chiko kalau ada singkong keju.”
“Eh iya ya, dia juga suka banget singkong keju ‘kan. Dasar orang Amerika aneh.” Dinda tertawa, akupun melakukan hal yang sama dengannya.
“Nanti pulang dari sekolah kita main ke rumahnya yuk,” ajakku, Dinda mengangguk setuju.
“Boleh, mudah-mudahan kita enggak lama ya di sekolah. Eh, anti udah tahu belum alasan mengapa dipanggil oleh Kepala Sekolah?” aku menggeleng. “horror banget tahu, Ray. Ana sempat kepikiran itu sebelum tidur semalam. Apakah mungkin ini ada sangkut pautnya dengan Pak Akbar?”
“Aku enggak tahu, Din.” Suaraku ragu.
Tiba-tiba ada rasa was-was menggelayut, jangan-jangan ini memang ada kaitannya dengan Kak Babay.
“Sudah, enggak usah dipikirkan. Kita ke sana saja untuk memastikannya. Jika anti memang enggak bersalah, enggak usah merasa khawatir. Insyaallah dimudahkan. Skuy, kita berangkat.”
Dinda melangkah mendekati motornya lalu mengenakan buff dan helmnya. Aku juga mengenakan helm yang sejak tadi sudah nongkrong di atas meja. Dengan sigap aku duduk di jok belakang.
Motor melaju pelan menyusuri jalan gang yang hanya berlebar satu meter, beberapa menit kemudian kami sudah keluar gang dan berbaur dengan kendaraan lain yang bisa dihitung oleh jari.
*****
Aku melirik jam dinding yang ada di tembok kantin, sudah jam 7.55 sekarang. Masih ada waktu lima menit lagi untuk berjalan dari sini ke ruang Kepala Sekolah.
“Dinda, kamu mau ikut atau gimana?”
“Ana nunggu di sini aja ya, Ray? Kebetulan tadi Lea chat, katanya dia dan Silvi mau ke sini.”
“Mereka mau ke sini? Bakalan seru dong. Nanti ajak mereka ke rumah Chiko ya, Din.”
“Boleh, entar ana ajak mereka. Sudah cepat sana, ke ruang Kepala Sekolah, nanti telat.”
Aku mengangguk, sudah berlalu lebih dari semenit dari waktu tadi. Harus bergegas, jangan sampai terlambat, bisa jadi perkara baru nanti. Kepala Sekolah baru ini agak tegas, walaupun hampir semua siswa menyebutnya galak bin killer.
Aku menahan napas saat masuk ke sebuah space antara ruang guru dan ruangan Kepala Sekolah. Agak terkejut saat ada Kak Babay di sana, dia sedang duduk di kursi tunggu yang terbuat dari besi.
Guru BK kelas 11 itu melihat kedatanganku, dia tersenyum. Terlihat dipaksakan apa yang dilakukannya tadi.