Lea dan Silvi berada di motor belakang mengikuti motor matic Dinda, motor batangan bertenaga kuda besar milik Lea memang tidak sepantasnya melaju di belakang. Mereka terpaksa mengikutinya karena tidak tahu di mana letak rumah Chiko. Beberapa kali motor itu mendahului tapi kemudian berjalan pelan menunggu.
Aku merasa lega setelah berhasil menyelesaikan masalah yang terjadi di ruang menyeramkan itu. Ada sebuah pelajaran berharga yang kudapatkan dari kata yang menggunakan majas hiperbola, jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan akan memberikan ekses yang tidak baik. Kata menodai yang aku ciptakan sebagai lambang Kak Babay menodai cintaku, malah diartikan menodai kesucianku. Entah siapa yang mendengar percakapanku dengannya beberapa waktu lalu di ruang BK?
Motor berhenti di sebelah kiri jalan, diikuti oleh motor berwarna biru langit milik Lea. Gerbang berwarna hitam menyambut kedatangan kami, Dinda melambaikan tangan ke arah cctv yang ada di tembok sebelah kanan. Mungkin menurutnya empu rumah sedang memantau dari kamera itu dan melihat kedatangan kami, walaupun mungkin juga monitornya dipantau selama dua puluh empat jam.
“Kamu sudah mengabari Chiko kita akan ke sini ‘kan, Din?” ujarku setelah melepas helm.
Dinda menghentikan lambaian tangannya setelah sadar bahwa kedua adik kelas yang ikut bersama memandang heran kelakuannya.
“Sudah, Ray. Katanya silahkan, dia menunggu di rumah.”
“Aku pencet bel ya, Kak Dinda?” ujar Lea saat mendekati tembok.
“Memangnya ada bel, Le?”
“Itu, Kak. Ada tulisannya bel.” Lea menunjuk sebuah teks yang menempel di tembok, tepat di belakang kepala Dinda.
“Ana baru sadar ada bel.” Dinda senyum-senyum sambil melepas buff-nya lalu dimasukan ke kantong jaket. Lea memencet bel itu dua kali, tapi tidak ada siapapun yang keluar dari gerbang.
“Pencet sekali lagi coba, Le,” ujar Silvi.
Yang disebut namanya mengangguk pelan, dia lalu menempelkan kembali telunjuknya ke bel.
Terdengar suara kunci gerbang dibuka, sesosok wajah oriental muncul dari pintu kecil yang ada dipinggir gerbang setelahnya. Sebuah senyum terukir menyambut kedatangan kami.
“Haloooo .... ” ujar sosok itu yang lalu memeluk Dinda. Lalu bergantian memelukku, Lea dan Silvi, “aku senang sekali kalian akhirnya sampai, yuk kita masuk. Sebentar aku buka dulu gerbangnya ya.”
Chiko kembali lagi ke dalam, masuk lewat pintu di mana tadi dia keluar. Beberapa detik kemudian, pintu gerbang besar membuka perlahan, menampakkan bangunan rumahnya yang besar secara perlahan.
“Ayo motornya di bawa ke dalam, Kak Dinda. Motor kamu juga Silvi,” ujar Chiko sambil memberi kode dengan tangan kanannya supaya masuk.
“Bukan motorku, itu motor Lea. Masa Inces bawa motor gede, bisa-bisa kebanting. Kalau Lea pantas, walaupun cewek dia itu macho.”
“Apa sih, Silvi? Entar gue tinggal ya di sini, sekali lagi lu bilang gue kayak gitu.” Lea terlihat kesal sambil mendorong motor besarnya masuk.