Keseruan di gazebo terjadi setelah Mommy dan Abi-nya Chiko izin untuk pergi. Tak beberapa lama setelahnya seorang asisten rumah tangga membawakan aneka kue dan buah. Nampak sekali memang tuan rumah benar-benar sengaja ingin menjamu tamunya, terlihat dari melimpahnya sajian.
“Jika sering berkumpul seperti ini, kita bisa jadi genk ‘ni,” celetuk Chiko. Kalimatnya membuatku dan teman-teman berhenti mengunyah kue dan buah, “salah ya, Kak Dinda? Kak Raya, teman-teman? Maafkan mulutku yang lancang.”
“Enggak, Ci. Itu sebenarnya sebuah ide bagus, nanti kita bisa lebih bisa sering berkumpul seperti ini. Tapi penggunaan istilah genk konotasinya ke arah negatif,” ujar Dinda.
“Aku setuju, Kak.” Lea mengangkat jempol tangan kanan tangannya.
Silvi tertawa saat melihat apa yang dilakukan Lea, sontak memancing yang jadi objek tertawanya itu melotot.
“Maaf, maaf. Aku enggak tahan tertawa,” ujar Silvi sambil berusaha menghentikan apa yang dilakukannya. Usahanya terlihat sia-sia karena dia masih saja tertawa, walau tidak sekeras pertama kali.
“Mengapa sih lu, Vi?”
“Enggak, entar lu kesel lagi kalau tahu alasan gue tertawa, Le.”
“Ngomong enggak! Kalau enggak gue smackdown ‘ni.” Lea mengancam, selanjutnya dia bersiap dengan menggulung lengan panjang kausnya sampai mendekati siku.
“Tapi, lu harus janji enggak marah?” Silvi memberi syarat.
“Iya,” jawab Lea pendek.
“Janji, Le?”
“Janji.”
“Janji apa? Biar jelas ngomongnya, Le. Entar habis gue cerita, lu marah dan gue habis deh di smackdown.”
“Gue janji, enggak akan marah dan enggak smackdown lu, puas? Ayo cerita!”
“Okey.... alasan gue tertawa adalah lucu melihat tangan lu.”
“Laah, mengapa tangan gue? Ada yang salah?”
“Tangan lu kayak tangannya si Thanos,” ujar Silvi sambil mengangkat tangan kanannya, lalu menjentikkan jarinya.
Aku terkekeh dalam hati, tangan Lea memang besar tapi tidak seperti miliknya Thanos, musuhnya Avenger itu. Tapi guyonan anak silat itu lucu juga menurutku, apa lagi dengan logat Betawinya yang masih kental sekali.
Lea mendekati Silvi dengan tersenyum, “dasar lu ya, Vi!”
“Eit, tadi janji apa? Enggak marah’ kan?”
“Gue enggak marah, Vi. Lihat muka gue, sedang senyum ‘kan? Memangnya terlihat marah?” ujar Lea sambil terus membuat-buat senyum di wajahnya.
Gadis berbadan kekar itu meluruskan telunjuk kanannya lalu ditusukkan ke pinggang Silvi. Sontak tusukan jari berulang-ulang itu membuatnya terkaget-kaget. Saat bercanda mereka lebih sering menggunakan kata lu-gue, kata aku-kamunya hilang sementara.
Aku dan Dinda geleng-geleng melihat kelakuan mereka, pemandangan yang kerap terjadi saat mereka ada berdua. Setelah itu pasti mereka berpelukan seperti Teletubbies. Chiko sepertinya baru melihat pemandangan yang terjadi antara Lea dan Silvi, ada gurat khawatir di wajahnya.
“Sudah abaikan saja mereka,” ujar Dinda kepada Chiko.
“Mereka sudah biasa seperti itu. Jangan khawatirkan, Ci.” Aku menimpali Dinda, berusaha mengalihkan perhatian gadis berwajah negeri tirai bambu itu.
“Masa sih, Kak Raya?” Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Sudah, Lea, Silvi, bercandanya. Kita kembali ke laptop ya. Apa istilah yang tepat untuk menamakan perkumpulan kita ini. Jangan menggunakan kata ‘genk’, ada ide enggak, Raya, Ci?” Dinda berusaha menarik perhatian empat orang di sekelilingnya.
Lea dan Silvi menghentikan apa yang mereka lakukan tadi, lalu mulai ikut berpikir.
“Memang biasanya ‘genk’ sih, Kak. Walaupun memang banyak yang anti mendengar kata itu, kesannya negatif banget.” Lea mulai serius, tergambar dari kalimatnya.
“Pasti ada kata yang lain selain kata genk,” ujar Dinda.