Alhamdulillah, Allah selalu membangunkanku setiap dini hari untuk menjalankan salat Tahajud. Awalnya agak bingung mengapa selalu terbangun jam dua dini hari. Penyebabnya pun macam-macam, mulai dari suara kucing berkelahi, digigit nyamuk atau kebelet pipis.
“Itulah cara Allah membangunkan anti untuk Tahajud, pergunakanlah kesempatan itu untuk mendekatkan diri kepada-Nya” ujar Dinda kala itu saat aku bercerita kepada.
Aku mendebatnya saat dia menyampaikan itu, dalih yang kugunakan adalah salat Tahajud itu ibadah sunnah, mengapa mesti repot-repot menjalankannya? Sunnah itu ‘kan dikerjakan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak apa-apa, kesimpulanku saat itu.
“Pahala itu ghaib seperti dosa, walaupun keduanya berada di dua sisi yang berbeda. Walau tidak bisa digenggam pahala itu bisa dirasakan sekarang, bukan hanya nanti di akhirat. Jika kita banyak pahala, hidup kita insyallah akan lebih mudah, juga sebaliknya dengan berlumur dosa hidup akan terasa lebih sulit.” Aku mendengarkan ceramah Mamah Dinda yang menarik ini, lalu mengingatnya baik-baik.
“Jika kita umpamakan bahwa pahala itu seperti uang, maka manusia akan berbondong-bondong mencari pahala. Umpama, salat Zuhur dapat hadiah uang seratus ribu, Asar seratus ribu, Magrib, Isya dan Subuh juga masing-masing seratus ribu. Setiap manusia akan mendapat uang lima ratus ribu saat menjalankan salat lima waktu. Bagaimana menurut anti apakah manusia akan rajin salat? Bagaimana jika setiap ibadah kita dihargai dengan uang seratus ribu? Salat Qobliyah dan Badiyah, salat Dhuha, Tahajud, tilawah Alquran. Berapa juta yang akan manusia dapatkan setiap harinya? Nominalnya pasti banyak. Tapi itu ukuran manusia yang melihat angka saja, padahal Allah menjanjikan yang lebih baik dari itu yaitu syurga, tempat di mana kenikmatan itu sama sekali tidak bisa diungkapkan dengan diksi yang indah. Coba bayangkan jika pahala kita bisa terlihat, sudah berapa kamar pahala yang kita miliki? Serumah? Dua rumah? Sebesar sekolah kitakah? Atau mungkin tidak ada sama sekali karena ibadah kita tidak diterima Allah.”
Aku menelan ludah dengan yang diucapkan Dinda, sumpah aku kagum sekali dengan sosok sahabat satu ini, selalu menginspirasi. Dia sudah merubah jalan hidupku menjadi lebih baik.
“Yang penting kita lakukan semua yang bernama ibadah itu. Ibadah yang sifatnya wajib jangan sampai lengah, sunnah dikerjakan dengan rajin. Dari sekian banyak ibadah yang kita lakukan mudah-mudahan ada satu ibadah yang membuat Allah meridhai kita untuk memasuki syurganya, Raya.” Aku mengucapkan kata ‘aamiin’ di ujung kalimatnya tadi.
Semenjak itu aku mulai berniat menjalankan semua ibadah yang sunnah. terlebih yang wajib kukerjakan diawal waktu. Alhamdulillah, selama ada niat pasti ada jalan. “There’s a will. There’s a way” mengutip kalimat Chiko.
Bakda Tahajud biasanya aku menuliskan semua kisah yang kualami sehari kemarin di Lappy, laptop kesayanganku. Mungkin nanti apa yang kutuliskan di sini mengenai keseharian akan menjadi sebuah asset berharga, seperti buku hariannya Mantan Presiden favoritku, Bapak Baharudin Jusuf Habibie.
Selesai menuliskan kisah di diary digital, aku melanjutkan menulis novel yang akan kulombakan di Kwikku. Memang sangat menguras otak jika dikerjakan mendekati deadline seperti ini, karena memang aku mengetahuinya baru akhir-akhir ini. Tapi aku yakin bisa menyelesaikannya sebelum waktunya habis. Semoga Allah berkenan memberikanku inspirasi tiada batas untuk menjadi juara pertama. Aamiin.
Aku terhenyak saat melihat kalender, sekarang adalah hari Jumat. Berarti ini adalah hari terakhir aku masih bisa mendambakan kehadiran Kak Babay sebagai sosok utuh, sebagai seorang laki-laki dewasa yang belum menikah. Besok dia akan menyandang status sebagai imam dari seorang perempuan bernama Anna Fitria itu. Dia adalah sosok yang ingin sekali kusingkirkan kehadirannya di hidup Kak Babay, calon Abi dari anak-anakku yang belum lahir. Ingin sekali kujambak dan kucakar-cakar tapi tak kuasa aku melakukannya. Kak Anna lebih baik dariku, dia lebih layak menjadi istri Kak Babay dibandingkan dengan diriku yang masih berlumur dosa.
Bakda melaksanakan salat Subuh, aku pamit kepada Bunda untuk kembali ke kamar, Roman-pun sudah kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya setelah menjadi imam salat tadi. Nampaknya dia mengantuk sekali pagi ini, mungkin semalam tidur telat.
Aku berusaha menuangkan kembali kata menjadi kalimat dengan diksi yang mungkin menarik untuk dibaca. Sebuah telepon menggagalkan fokusku yang sedang menatap kursor di Lappy, walau tanpa ada satu katapun yang menggerakan jemari.
Tertulis nama Dinda Humaira di layar ponsel, ada apakah dia sepagi ini dia menelepon. Pasti ada sesuatu yang penting sekali, biasanya dia hanya chat saja. Aku menekan tombol loud speaker setelah sebelumnya menekan tombol hijau.
“Assalamualaikum, Ukhty Dinda,” ujarku.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Gutten Morgen. Ana ganggu enggak, Raya?”
“Insyaallah enggak, aku lagi berusaha menulis bab baru.”
“Bab baru untuk novel anti?”
“Iya untuk novel, bukan bab baru untuk hidupku. Dinda,” terdengar tertawa di ujung sana, “sepertinya ada sesuatu yang penting jika pagi-pagi sudah menelepon.”
“Iya, penting banget, Raya. Afwan, mungkin ini di luar ranah ana, tapi semalam ana enggak bisa tidur memikirkan ini.”
“Tentang apa ‘ni, Dinda?”
“Tentang Pak Akbar, Eh, tentang pernikahan Pak Akbar maksudnya.”
“Sudahlah Dinda, aku sepertinya tidak bisa melakukan apa-apa dengan yang akan terjadi besok. Kak Anna akan sah menjadi istri beliau besok.”
“Wait, ana baru menemukan sesuatu yang mungkin akan membuat anti terperangah. Hal ini mungkin saja bisa menyelamatkan kisah anti dengannya.”
“Maksud kamu gimana, Dinda Humaira yang manis?” ujarku masih bingung. Terdengar dia tertawa lagi di ujung sana.