Aku menolak saat Dinda bilang untuk berbagi tugas, dia ke rumah Kak Anna dan aku ke rumah Kak Babay. Tapi saat dia bilang untuk bertukar posisi aku yang tidak mau. Walau bagaimanapun rasanya lebih tidak nyaman pergi ke rumah Kak Anna dari pada kerumah Kak Babay.
Dinda langsung ke rumah Kak Anna, tanpa mengantarku dulu, aku jadi menumpang angkutan umum lalu berjalan dari depan Gang Santuy sampai ke rumahnya. Tidak ada motor yang bisa kugunakan dirumah, karena motor satu-satunyapun dibawa Bunda ke Benazir Cafe.
Aku berdebar saat melangkahkan kaki mendekati beranda rumahnya. Kian mendekat kian keras debaran jantung.
Apakah lebih baik kuputar saja haluan langkah dari sini? Rasanya tak sanggup dengan kondisi rumah yang seramai itu. Jangankan seperti itu, hanya ada calon mertuaku saja di rumah rasanya masih terasa sungkan. Apalagi ditambah dengan keluarga besarnya yang sedang banyak berkunjung.
Akhirnya aku tak kuat untuk bertahan di depan teras. Lebih baik kembali ke rumah saja atau menunggu Dinda kembali dari rumah Kak Anna, supaya nanti bisa ditemani olehnya menemui Bunda Kak Babay.
“Raya ....”
Aku menghentikan langkah kaki yang telah berputar arah. Ada suara memanggil, suara yang akrab sekali di telinga, seperti suaranya Kak Babay.
Dengan tegang aku membalikkan wajah, nampak laki-laki pria tinggi berdiri di ujung teras rumahnya. Di wajahnya terukir senyum yang ingin sekali kulihat secara langsung akhir-akhir ini.
“Ayo masuk, mengapa di luar aja?” ujarnya.
Aku berdiri mematung, bingung apa yang hendak kulakukan selanjutnya. Mengikuti ajakannya atau mengikuti ajakan hati untuk pergi dari sini atau menunggu kedatangan Dinda.
“Eh, ada Raya ternyata. Mengapa di luar aja, ayo diajak masuk, Bay.”
Aku menghela napas saat Bunda Kak Babay hadir meramaikan pergolakan batinku, sepertinya takkan bisa pergi dari sini. Perempuan berjilbab biru itu datang mendekatiku yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Aku semakin disergap bingung.
“Assalamualaikum, Bunda,” ujarku akhirnya.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Raya. Mengapa di luar saja? Ayolah masuk,” ujarnya kalem.
“Anu, Bunda ... aku ...”
Ah, mengapa gugupku membuat gagap seperti ini? Mengapa mengucapkan anu juga? Kalau seperti ini ‘kan malah seperti si Chineese America itu yang masih bicara menggunakan kata itu.
“Ayolah, temani Bunda di dalam.” Ibu kandung laki-laki yang kukagumi itu menarik tangan kananku perlahan, aku tak kuasa menolaknya.
“Ya Allah, mudahkanlah semua,” bisik batinku saat disergap rasa bingung.
Kami melewati Kak Akbar yang masih berdiri di bibir teras. Dia menatapku, aku menunduk tak kuasa membalas tatapannya.
Andai saja aku datang ke sini sebagai menantu bukan sebagai tamu. Mengapa pikiranku malah berandai-andai yang tidak jelas seperti ini?
Aku dipersilahkan duduk oleh Bunda, Kak Babay menemani duduk di sofa yang posisinya berseberangan. Rasanya kaku sekali duduk seperti ini dengannya, orang yang telah membuatku jatuh hati tanpa jeda. Besok harus kurelakan dirinya untuk menikah dengan perempuan lain, walaupun tidak pernah rela rasanya.
Jika saja tidak mengotori imanku, ingin sekali kudekap tubuhnya dan menangis sejadi-jadinya di sana. Astaghfirullahaladzim.
Bunda meletakkan teh hangat di atas meja, beserta dengan kue-kue yang sepertinya khusus dibuat untuk acara pernikahan anaknya besok.
“Bay, kamu temani Raya ya mengobrol, Bunda mau bantu-bantu menyiapkan kue di belakang, kasihan tante kamu sepertinya sudah lelah. Raya, Bunda ke belakang dulu ya.” Aku menggangguk, kulihat Kak Babay-pun melakukan hal yang sama.
Beliau meninggalkan kami di ruang tamu, susana-pun kemudian kembali menarik dan menjebak dalam kesunyian.
“Raya ....” ujar Kak Babay pelan.
Alhamdulillah, dia memulai pembicaraan lebih dulu, bukan aku yang memulainya. Soalnya bingung jika harus memulainya, di benak yang ada hanya kerinduan yang membabi-buta kepadanya.
Aku menatap laki-laki itu, menunggu kata selanjutnya yang akan meluncur dari mulutnya.
“Raya ... terima kasih kamu sudah datang ke sini,” ujarnya, entah apa arti dari kalimatnya itu. Terima kasih untuk apa?
Aku menghela napas panjang, bingung berkata apa untuk membalas kalimatnya.
Terdengar suara motor berhenti tak jauh, aku sangat berharap sekali itu Dinda. Posisi yang membelakangi teras memaksaku untuk menoleh ke arah suara itu.
“Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.” Terdengar suara Dinda. Aku lega sekali mendengarnya.
Dinda, kamu telah menyelamatkanku dari dunia bisu yang tercipta tiba-tiba.
Kak Babay menjawab salam lalu bangkit, dia menyambut kedatangan Dinda yang masih di teras. Terdengar dia mempersilahkan tamunya itu masuk.
“Ayo Dinda masuk, temani Raya di dalam. Tiba-tiba dia jadi tuna wicara, ditanya hanya diam saja.”
Mungkin itu sebuah kalimat gurauan, tapi rasanya menusuk. Aku memasang wajah cemberut saat Dinda tepat duduk disampingku.