Sabtu pagi, aku terbangun kaget saat alarm berbunyi dari ponsel yang kusimpan di samping bantal. Perlahan kubuka mata yang masih terasa lekat sekali, samar-samar terlihat jam dinding, dengan cepat kubangkit dari tempat tidur saat menyadari bahwa alarm tersebut adalah jam empat pagi tepat.
Aku meraih handuk lalu bergegas mandi, biasanya aku sudah terbangun sebelum jam tiga, baru kali ini alarm sampai berbunyi membangunkan. Semalam memang tak bisa tidur, mata rasanya kering sekali, mungkin sekitar jam satu lewat baru berhasil memejamkan mata. Pikiran berkelana kemana-mana, tak bisa kuusir bayangan akan kehilangan Kak Babay akhirnya.
“Ya, Allah.”
Mengapa tiba-tiba bayangan kehilangan itu hadir lagi, aku mengguyur kepalaku dengan air dari bak mandi, dinginnya sejenak mengusir bayangan yang menyiksa itu.
Aku segera menyelesaikan rutinitasku setiap pagi, Tahajud, tilawah disambung dengan salat Subuh, setelah zikir pagi aku menulis diary di Lappy.
Sebuah panggilan telepon mengalihkan mataku dari layar laptop. Aku menduga pasti yang menelepon adalah Dinda, ternyata benar memang namanya yang terpampang.
“Assalamualaikum, Dinda,” ujarku.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Gutten Morgen, Raya.”
“Good Morning.”
“Bagaimana strategi kita hari ini, Raya?” Tanpa basa-basi dia langsung to the point dengan alasan dia menelepon.
“Strategi untuk apa, Dinda?”
“Astagfirullah, strategi yang ada kaitannya dengan pernikahan Pak Akbar, jangan-jangan anti lupa hari ini cinta anti akan terbunuh mati.”
“Eggak lupa, hanya tak ingin mengingatnya saja, Dinda. Lagian biasanya 'kan kamu yang selalu menyusun strategi, aku hanya mengikutinya saja.”
“Hmm, masa sih ana selalu seperti itu, Raya? Kayak panglima tempur aja ana.”
“Emang biasanya ‘kan seperti itu, Dinda Humaira yang manis.”
“Stop, ana enggak mau dipanggil lagi dengan panggilan yang seperti itu?”
“Lho? Biasanya kamu suka dipanggil seperti itu. Jadi panggil apa dong?”
“Cukup panggil dengan nama Dinda Azani saja.” Terdengar sebuah tertawa kecil di ujung sana setelah kalimatnya.
“Dinda Azani? Siapa itu?” Nama yang disebutkan Dinda itu terdengar akrab sekali di telingaku, tapi di mana aku pernah mendengarnya?
“Astagfrullah, masa anti dengan Dinda Azani enggak tahu, Raya. Keterlaluan sekali.”
“Serius, aku enggak tahu.”
“Dia seorang artis, masa anti enggak kenal, Benazir Raya Putri.”
“Dia kenal kamu, Dinda?”
“Ya enggak lah, ana aja yang kenal dia karena dia itu artis. Dia enggak kenal dengan ana. Sudahlah enggak usah dibahas lagi tentang Dinda Azani. Ana ke rumah anti jam delapan, pastikan anti sudah siap berangkat jam segitu. Oh iya, Lea, Silvi dan Chiko mau ikut juga, ana sudah shareloc rumah anti di grup.”
“Mereka mau ikut ke mana. Dinda?”
“Astagfirullah, Raya. Hari ini kekasih hatimu akan meninggalkanmu, menggoreskan luka yang sangat dalam sekali. Kamu yakin enggak akan berusaha menggagalkan pernikahan mereka, terlebih setelah kita tahu kemungkinan Pak Akbar dan Kak Anna itu bersaudara. Anti masih bertanya mereka mau ikut ke mana aja.”
“Maaf, Dinda, entah mengapa otakku jadi lemot seperti ini. Makanya kamu cepat ke sini cetuskan ide-idemu yang selalu menyemangatiku.”
“Ya udah, tunggu jam delapan ya di rumah. Sekarang ana ada kewajiban dulu yang harus dikerjakan”
“Apa tuh? Biasanya kamu enggak pernah ada kerjaan bakda Subuh.”
“Kali ini ada, Raya. Ana mau lanjut tidur dulu, itu adalah kewajiban yang akan ana kerjakan dulu.”
“Dasar, kirain apa.” Aku tersungut mendengar jawabannya.