Akhirnya aku dan Chiko tiba di depan rumah Kak Anna setelah hampir dua puluh menit berkendara motor. Rumahnya masih sama dengan saat aku pertama kali ke sini. Jujur aku suka sekali dengan model bangunan rumahnya, mengingatkan tentang sejarah datangnya bangsa Belanda ke Indonesia ratusan tahun silam. Pohon beringin besar dengan sulur memanjang kembali menyambut, dia terlihat tidak seangkuh dulu saat aku datang untuk pertama kali.
Terlihat rumah Kak Anna ramai sekali, mungkin banyak tetangga dan saudara-saudaranya yang sengaja datang. Mereka nampaknya membantu mempersiapkan pernikahan yang akan dihelat jam dua siang nanti.
Protokol standar kesehatan yang harusnya masih digunakan saat masa tatanan baru pandemi Corona nampak diabaikan, terlihatnya banyak tamu dan anak-anak yang tidak menggunakan masker. Mudah-mudahan pernikahan hari ini tidak membuat cluster baru penularan Covid 19.
Aku berdiri mematung, tiba-tiba hati menjadi ragu dengan apa yang akan kulakukan hari ini di rumah Kak Anna. Biasanya ada Dinda disamping yang selalu pandai bersiasat, tapi kali ini bersama Chiko, blasteran China Amerika yang bahasa Indonesianyapun masih belum fasih.
“Ini rumahnya Kak Anna, Kak?” ujar Chiko, Dia sedikit mengalihkan pikiranku yang tiba-tiba hilang keberanian.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, aku tahu dia menunggu ajakan untuk ke rumah yang hanya lima meter di depan.
“Masya Allah, ada tamu rupanya, ayo masuk jangan di luar aja.”
Aku terkesiap saat melihat sosok bergamis hitam dan bercadar datang menghampiri, apakah ini Kak Anna? Jika dilihat dari matanya yang sipit seperti matanya Aisyah, adik Kak Anna.
“Assalamualaikum,” ujarku sambil tersenyum, sambil berusaha menyemangati diri. Aku berusaha bertingkah senormal mungkin di depan sosok ini.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Raya. Ayo masuk,” ujarnya. Aku masih mematung, “astagfirullah, ini ana adiknya Kak Anna, Aisyah. Ayo masuk.”
“Oh, Kak Aisyah, maaf aku enggak mengenali Kakak,” ujarku.
“Enggak apa-apa, pasti karena niqob ini ya? By the way, anti enggak usah panggil Kakak, agak risih rasanya. Sepertinya usia kita juga enggak terpaut jauh. Panggil Aisyah aja atau Ais juga boleh.”
“Aku khawatir kurang sopan, Kak,” ujarku.
“Enggak kok, Raya. Boleh panggil Ais aja, ana suka dipanggil dengan nama itu.”
“Oke, Ais.”
“Nah begitu lebih enak kedengarannya.”
“Oh iya, ini Chiko temanku, Ais.” Aku memperkenalkan Chiko yang berdiri tepat di samping kanan.
“Halo, Chiko. Assalamualaikum, nama ana Ais. Eh, afwan anti muslimahkah?” Aisyah nampak khawatir salah menyapa dengan megucapkan salam itu.
“Iya, Kak. Aku muslimah, alhamdulillah. Walaupun masih belum bisa berpakaian seperti Kak Raya, apalagi seperti Kak Aisyah yang sudah bercadar.”
“Insyaallah nanti Allah mudahkan jalan anti untuk berhijab. Oh iya, anti juga boleh memanggil ana dengan nama Ais, tidak usah menggunakan kata Kak di depannya.”
“Maaf, Kak. Kayaknya aku kaku jika langsung memangil nama seperti itu, aku boleh memanggil Kak Ais aja?”
Aisyah mengernyitkan dahinya, aku menduga kata kaku di kalimat Chiko yang membuatnya seperti itu.
“Maksudnya canggung, Ais. Chiko baru setahun tinggal di Indonesia, jadi masih ada beberapa kata yang belum benar penempatannya, dia sebelumnya tinggal di Amerika.” Aku berusaha menjelaskan.
“Wah hebat. Selamat datang di Indonesia, mudah-mudahan anti kerasan di Indonesia. Anti boleh memanggil ana apa saja.”
Chiko memandangku, aku berusaha menafsirkan arti tatapan matanya, “ada apa, Chi? Ada kata yang kamu enggak mengerti?”
“Kerasan itu apa artinya, Kak Raya?” ujarnya.
“Oh, kerasan itu artinya adalah betah,” jawabku. Chiko mengangguk-angguk, mungkin kerasan adalah kata baru untuknya.
“Sekarang kita ke dalam, yuk,” ujar Aisyah seraya menarik tanganku, aku juga ikut menarik tangan Chiko.
Aisyah mengajak kami ke ruang tamu menemui Kak Anna, dia sedang berbincang di sana dengan dua orang tamu. Mereka nampaknya dari rias pengantin, karena terlihat seorang laki-laki yang berdandan seperti perempuan.
“Kak, lihat siapa yang datang?” ujar Aisyah berbisik di telinga kakaknya khawatir tidak sopan dengan tamunya.
Kak Anna melihat ke arahku dan Chiko, matanya berbinar saat melihatku. Mungkin di balik niqob-nya dia sedang tersenyum.
“Ahlan wasahlan, Raya” ujarnya sambil bangkit dan memelukku. Tak kuasa kuhindari pelukannya. Andai saja dia tidak menikah dengan calon imamku, mungkin kami akan bersahabat baik.
Ah, tidak, Kak Anna tidak akan menikah dengan Kak babay, akan kubuktikan bahwa mereka itu bersaudara.