Waktu menunjukkan jam satu siang lewat sepuluh menit, aku gelisah menatap jam dinding yang ada di kamar Aisyah. Kurang dari satu jam lagi Kak Babay akan menikah dengan Kak Anna. Tapi, aku yakin sekali dia akan sampai ke rumah calon istrinya ini maksimal dua puluh menit lagi. Entahlah, aku tak berani berpikir lebih jauh lagi.
Dinda ke mana? Sejak tadi kutunggu kehadirannya, rasanya tanpanya disampingku ada yang hilang dalam situasi seperti ini. Chiko masih terlalu polos untuk diajak share lebih jauh, dia belum tahu cerita yang sedang terjadi seperti apa. Aku rasanya malas jika harus bercerita dari awal lagi kepadanya. Sekarang gadis bermata sipit sedang terkapar di tempat tidur milik Aisyah.
Terdengar sebuah pesan masuk, aku meliriknya ternyata itu adalah pesan dari Dinda. Aku membuka pesan itu dan kubaca.
“Ana di luar ni, di bawah pohon beringin. Ada teman-teman juga di sini, anti keluar ya.”
Alhamdulillah, akhirnya Dinda sampai juga. Ingin kudengar apa saja yang sudah dia sampaikan ke Bunda tadi, mudah-mudahan kabar baik yang kudapatkan. Aku bergegas menuju ke luar rumah Kak Anna. Kubiarkan Chiko terlelap di atas kasur Aisyah, biarlah tidak usah diganggu kenikmatan tidur siangnya.
Saat keluar dari kamar, ada Aisyah sedang berdiri di ambang pintu seberang kamarnya. Aku menduga itu adalah kamar Kak Anna, karena selain dirinya ada juga anak seusia SD dan ibu-ibu yang sedang mengintip lewat celah pintu kamar. Mungkin mereka ini adalah bagian dari keluarga besar dan sedang melihat Kak Anna yang dirias, untuk pernikahan yang beberapa menit ke depan lagi. Aisyah melihatku ke luar dari kamarnya.
“Anti mau ke mana. Raya?”
“Aku mau menemui Dinda di luar. Titip Chiko di kamar ya, dia sedang tidur.” Aisyah mengangguk. Aku pamit dengan grogi ke arahnya, entah mengapa juga rasa grogi datang tiba-tiba, aneh.
Aku melewati ruang tamu yang sekarang sudah tidak bangku berukir lagi di sana, berganti dengan permadani lebar berwarna merah terang. Mungkin ruang tamu ini akan digunakan sebagai tempat prosesi pernikahan. Ada beberapa perempuan bercadar yang sedang asyik bercengkerama di sana, mungkin mereka adalah teman-teman Kak Anna, mungkin juga saudaranya. Aku mengangguk sopan saat salah seorang dari mereka melihatku saat ke luar rumah.
Ternyata sudah ramai sekali di luar dengan tamu, sebagian besar mereka pasti adalah keluarganya Kak Anna, mungkin ada juga tetangganya ikut meramaikan. Aku melewati mereka satu persatu dengan sopan, menuju ke pohon beringin besar.
Dinda melambaikan tangan ke arahku, menunjukan posisi pasti dirinya. Terlihat di sana Lea, Silvi, ternyata ada juga Kak El dan Fikri.
“Assalamualaikum, Kak El, Fikri.” Aku menyapa mereka terlebih dahulu, sebelum menemui Butterfly.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,” ujar Kak El dan Fikri hampir bersamaan. Mereka menyatukan kedua telapak tangan mereka di depan dada, jabat tangan khas tanpa menyentuh yang bukan mahrom-nya.
“Apa kabar, Raya?” ujar Kak El.
“Alhamdulillah, Kakak apa kabar?” jawabku sambil mengukir senyum, senang sekali rasanya.
“Alhamdulillah.” Kak El membalas tersenyum.
“Ana enggak ditanya kabar nih, Ray?” Fikri memasang muka cemberut.
“Apa kabar, Fikri?” Aku menoleh ke arah suara yang menanyakan kabar itu, ternyata Dinda yang melakuaknnya. Dia tertawa kecil yang diikuti oleh Lea dan Silvi yang tersenyum.
“Ana maunya di tanya oleh Raya bukan oleh anti, Dinda.”
“Pertanyaan semacam itu ‘kan hanya sekadar basa-basi, Fikri.” Dinda tertawa lagi.
“Ah, Dinda enggak seru,” ujar Fikri tersungut. Tiba-tiba matanya liar melihat sekeliling, sepertinya dia mencari seseorang, “Chiko ke mana, Raya? Kata Dinda dia sudah bersama anti sejak tadi ke sini.”