JATUH HATI TANPA JEDA

Kingdenie
Chapter #28

Akhirnya Takdirpun Bicara

Waktu sudah menunjukan jam dua siang tepat, hatiku semakin deg-degan tidak karuan. Rasanya ingin sekali aku membuka mulut untuk menjabarkan cerita tentang kedua anak Ahmad Jalaludin ini. Dinda yang duduk disampingku seolah mengetahui gelisahku, dia mengusap-usap bahuku perlahan supaya tidak ada yang curiga.

“Baiklah, kita mulai saja pernikahannya ya,”ujar petugas dari KUA itu.

Aku tersentak, apakah benar cintaku akan dimutilasi hari ini? Dadaku bergemuruh hebat menahan rasa yang ingin sekali memberontak dari dalam. Baiklah aku putuskan aku saja yang menceritakan.

“Pak Naib, Pak Ustadz. Mohon maaf, saya orangtuanya calon mempelai laki-laki. Ada yang ingin saya tanyakan,” ujar Bunda.

Aku menahan diri, lega rasanya Bunda akhirnya buka suara. Untung saja beliau membuka suara duluan sebelum aku yang bicara, pasti tidak akan terkontrol emosi ini, bisa-bisa lebih banyak menangisnya nanti dari pada menjelaskan.

“Silahkan, Bu.”

“Begini, Pak, disaat melapor untuk menikah apakah dicek nama-nama orang tua dari kedua calon ini?”

“Pasti, karena itu untuk dasar untuk pencatatan kami, Bu.”

“Lalu apakah diperhatikan bin atau binti siapa calon-calon ini?” ujar Bunda.

Semua mata sekarang menatap ke arah Bunda, termasuk anaknya, Kak Babay, terlihat raut khawatir di wajahnya. Kak Anna hanya menunduk, sepertinya dia memilih hanya mendengarkan saja apa yang akan terjadi.

Petugas KUA itu membuka map yang dibawanya, “Kami mencatat bahwa Akbar Muharram bin A. Jalaludin dan Anna Fitria binti Ahmad J.”

“Terima kasih, Pak. Izinkan saya untuk bertanya kepada calon memperlai perempuan sebelum dimulai, Pak. Mohon maaf seharusnya saya melakukannya sebelum jelang pernikahan ini, tapi informasinya baru saja saya dapatkan.”

“Silahkan, tidak apa-apa, demi kebaikan bersama.”

Bunda beringsut menggeserkan badanya mendekat calon mempelai perempuan, “anakku, Anna Fitria ....”

Kak Anna mengangkat wajahnya, “iya Bunda?”

“Bunda mau nanya, boleh?”

“Silahkan, Bunda.”

“Nama ayahmu adalah Ahmad J, apakah itu kepanjangannya Ahmad Jalaludin?”

“Iya, Bunda. Benar sekali.”

“Terima Kasih, Nak.” Suara Bunda seperti tercekat mendengar jawaban Kak Anna.

“Sama-sama, Bunda.”

Kak Anna menundukkan lagi pandangannya, sekilas aku melihat ada gurat khawatir di matanya. Sepertinya hampir semua orang yang sedang berada di ruang tamu menjadi tegang akan drama yang sedang berlangsung, terlebih aku.

“Pak Naib, Pak Ustadz, kedua calon mempelai ini mempunyai nama ayah yang sama, Anna Fitri binti Ahmad Jalaludin, Akbar Muharram bin Ahmad Jalaludin. Saya khawatir mereka bersaudara kandung. Boleh saya bertanya lebih lanjut.” Semua wajah yang ada di riungan semakin tegang.

“Silahkan, Bu,” jawab Pak Naib.

Aku semakin deg-degan dengan apa yang akan terjadi. Bunda merangkul bahu Kak Anna.

“Anakku, apakah Ayahmu pernah bercerita nama ibu kandungmu?” suara Bunda terdengar jelas olehku yang tepat berada di samping Bunda.

Pertanyaan Bunda dijawab dengan anggukan Kak Anna.

“Siapa namanya, Nak?”

“Fatimah, Bunda” ujar Kak Anna, dia menatap wajah bunda.

“Itu nama Bunda anakku, lalu apakah kamu ingat ayahmu punya tanda berupa sebuah tahi lalat besar di bawah mata kanannya,” ujar Bunda, pertanyaan itu dijawab dengan anggukan Kak Anna.

“Ya Allah....” Bunda menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

Lihat selengkapnya