Bandung, Mei 2018
Surat kelulusan sudah dibagikan kepada seluruh siswa, hasilnya mereka dinyatakan lulus 100%. Walaupun masih ada saja yang harus lulus bersyarat, karena sering bolos ataupun kabur saat jam pelajaran tengah berlangsung. Begitu pun dengan hasil SNMPTN juga sudah diumumkan via daring. Hasilnya, mereka diterima sesuai dengan universitas idamannya masing-masing: Ucup diterima di Universitas Negeri Yogyakarta, Irma dan Ulfa yang sama-sama diterima di Universitas Padjajaran.
Anna masih memandangi laptopnya. Layar persegi panjang itu memunculkan namanya, lengkap dengan pemberitahuan bahwa dia dinyatakan lulus jalur undangan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB. Rachel tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan, gadis itu terus menebar senyuman.
Anna menutup mulut dengan kedua tangan, masih tidak menyangka dengan hasil keputusan SNMPTN yang baru saja diumumkan itu.
“Ayah, cubit Anna, please!” Dia melirik Deni yang sedang asyik membaca koran di sampingnya. “Ayah!” Gadis itu mengeraskan suaranya saat melihat Deni tidak merespons dan masih saja asyik membaca koran.
Pria paruh baya itu melirik ke arah putrinya, kemudian mencubit pipi Anna dengan sangat keras, membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Anna segera membalas dengan mencubit kembali lengan Deni. “Heh, kamu!”
Anna tertawa. “Satu sama.”
“Tadi kamu bilang apa? Kamu diterima?”
“Iya, aku diterima di IPB, Ayah!” Anna berteriak, naik ke sofa, melompat-lompat hingga tubuh mungilnya seperti melayang di udara. “Huwaaaaaaa!” Gadis itu terlihat sangat bahagia, kedua tangannya diacungkan ke udara sama seperti saat dirinya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik.
Anna melompat turun, lalu dia langsung menghambur ke pelukan Deni. “Terima kasih banyak, Ayah.” Dia melingkarkan tangan di pinggang Deni. “Tanpa dukungan Ayah, aku nggak bakal seperti ini. Bulan depan aku mau berangkat ke Bogor, boleh, ‘kan?”
Deni membalas pelukan Anna, merasa sangat terharu mendengar putrinya diterima di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. “Tentu saja boleh, dong, Sayang. Nanti ayah yang akan mengantarkan kamu.”
Detik itu juga, Anna tersenyum, pikirannya secara otomatis mengingat Ethan. Entah kenapa Anna ingin sekali sosok Ethan itu tahu kalau dirinya sebentar lagi akan masuk universitas idamannya. Gadis itu meminta izin kepada sang ayah untuk pergi keluar sebentar, ingin berbagi kebahagiaan dengan dinginnya malam.
Lalu gadis itu mendongak, menatap langit, dan perlahan bibirnya bergerak seolah sedang membisikkan sesuatu pada udara, langit, dan semesta.
“Ethan, kamu lagi ngapain? Selamat tidur, ya. Selamat istirahat, semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya. ”
Ucapan itu dia bisikkan sungguh-sungguh, penuh keikhlasan dan juga ketulusan. Tangannya terulur membelai angin, berharap Ethan ikut merasakan bahagia seperti dirinya.
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Ethan duduk ditemani gitar kesayangannya. Memetik gitar dan bernyanyi menjadi salah satu obat alternatif untuknya saat sedang bosan. Berbeda dengan anak lelaki seusianya yang sering keluar di malam hari, Ethan lebih memilih diam di rumah, terlalu malas untuk hal-hal yang menurutnya tidak berguna.
Entah sudah berapa lama dia duduk di sana, tidak menghiraukan banyak pesan masuk serta notifikasi sosial media yang berkali-kali terdengar. Lalu tangannya terulur meraih ponsel yang ada di sampingnya, membaca satu persatu notifikasi yang masuk. Dia memainkan jarinya ke atas ke bawah tanpa minat, notifikasi yang masuk semuanya berisi permintaan untuk diikuti balik oleh Ethan. Dia terdiam cukup lama, lantas mematikan ponsel.
Itu saja sudah cukup menjelaskan bahwa malam ini, Ethan sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
***
Sehari setelah pengumuman kelulusan, seluruh murid sudah sangat jarang pergi ke sekolah. Mereka hanya tinggal menunggu hari wisuda dan pelepasan tiba. Hari ini, Anna sudah memiliki janji dengan Ucup untuk makan seblak di warung Bunda sebagai bentuk perayaan kelulusan mereka. Kedua sahabat itu sudah berada di kantin siap untuk ikut antre bersama siswa yang lain. Ucup bertugas untuk memesan seblak di warung Bunda, sementara Anna sendiri ikut berdesak-desakan untuk membeli air minum di warung yang lain.
“Mang, aku es capucino banyakin airnya sama es teh biasa punya Ucup,” teriak Anna kepada Mang Hasan, pemilik warung.
“Siap, Bos! Capucino banjir, kalau es teh nggak, ya?” tanya Mang Hasan.
“Iya, Mang.”
“Oke, Neng geulis!”
“Kalau udah nanti Mang Hasan teriak aja, ya. Aku mau ke warung Bunda dulu.”
Setelah urusannya dengan Mang Hasan selesai, Anna segera menghampiri Ucup untuk memastikan pesanannya sudah siap atau belum. Untungnya, Ucup bisa menerobos anteran siswa lain dan mendapatkan pesanannya dengan cepat. Mereka saat ini untuk pertama kalinya akan memakan seblak secara langsung di warung Bunda, karena biasanya mereka hanya akan jajan di sana, lalu memakannya di dalam kelas.
“Ngapain lo liatin gue kayak gitu?” tanya Anna.
“Muka lo nyolot banget,” jawab Ucup santai.