Matahari sudah terbenam, tergantikan oleh gelapnya malam. Gadis itu duduk di depan layar laptop yang menampilkan background bergambar boyband asal Negeri Ginseng, Seventeen. Kursornya berkedip-kedip, seolah mengajak Anna untuk segera menggunakannya.
Dia membuka aplikasi youtube untuk melepas segala kejenuhan akibat segudang rutinitas yang dijalani beberapa hari terakhir. Jari-jarinya menempel di atas papan ketik, kemudian mengetikan beberapa kata di sana. Beberapa saat kemudian, muncullah beberapa video di layar laptopnya. Dengan semangat gadis itu mengklik salah satu video milik Seventeen yang berjudul "Campfire”.
“Kamu lagi ngapain, Neng?” Anna tersentak. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Ibunya sudah duduk di sampingnya, memperhatikan aktivitas Anna. Dia dengan cepat menutup layar laptopnya dengan paksa. “Nggak usah ditutup gitu, ibu sudah lihat semuanya. Dari pada nonton video-video artis Korea, mending kamu cari-cari video tentang resep masakan.”
Anna terdiam. Dia tidak mengerti kenapa ibunya sangat tidak menyukai apa yang menjadi kesukaannya. “Itu di depan ada teman kamu, si Farel.”
“Suruh masuk aja, Bu.”
Setelah berhasil memastikan ibunya keluar dari kamar, Anna kembali menghidupkan laptop. Video yang sempat terjeda itu kembali diputar, kemudian Anna mengambil buku tebal di atas meja, gadis itu tidak melupakan kewajibannya untuk belajar. Lantunan lagu “Campfire” milik Seventeen mengiringi aktivitas belajarnya.
“Belajar terus, emangnya sehari aja nggak belajar buat lo bego, Na?” tanya Farel yang sudah berdiri tepat di samping Anna. Gadis itu tidak menyadari kedatangan temannya, entah dia terlalu fokus belajar atau terlalu menikmati lagu.
Farel sudah duduk manis di depan Anna, cowok itu terus menebarkan senyum. “Main, yuk!”
Anna membulatkan matanya. “Main? Udah malam kali, Rel,” pekik Anna.
“Hehe. Nggak, gue bercanda, kok,” kata Anna. “O, iya. Tadi gue sempat ngobrol sama Ibu lo, kok kayaknya dia biasa aja pas tahu kalau lo diterima di dua kampus terbaik di Indonesia atau cuma perasaan gue aja?”
Anna terdiam. Dia bingung harus menjawab apa, di satu sisi dia ingin sekali menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, tapi di sisi lain Anna merasa ragu karena dia takut Farel akan memberitahukan masalah ini kepada orang lain.
“O, itu ... Ibu juga senang, kok. Tapi, ya, emang Ibu tuh begitu, nggak pandai mengekspresikan rasa senangnya,” ucap Anna sambil tertawa pelan.
“Gue ngerasa lo lagi sembunyiin sesuatu dari gue.” Farel berusaha menyelidiki, “Apa jangan-jangan ini salah satu alasan lo sering bikin status galau di WhatsApp?”
“Sembunyiin apaan? Nggak, kok,” kata Anna salah tingkah. “Lo mau ngapain, sih, ke sini?”
“Yaelah, emang nggak boleh kalau gue mengunjungi teman gue, gitu?”
“Nggak gitu juga,” jawab Anna pasrah.
“Emangnya cuma si Brayn doang yang boleh main ke sini?”
Anna kembali membulatkan matanya. “Lo bilang apa tadi?”
“Brayn,” jawab Farel santai. “Lagian ... sebenarnya siapa, sih, dia?”
“Lo masih ingat aja nama itu. Gue udah bilang, kan, sama lo kalau dia itu salah satu manusia yang dikenal banyak orang.” Anna berusaha mengalihkan pembicaraan, “Em, lo udah makan?”
“Udah, kok.”
“Lo kapan berangkat ke Jakarta? Gue dengar lo juga keterima di salah satu kampus di sana, 'kan?” tanya Anna.
Anna terlihat sedikit menimbang-nimbang, “Minggu depan kayaknya. Kenapa?”
“Bosen gue lihat lo mulu, sana cari habitat asli lo!”
“Sialan lo!” Farel melemparkan bantal ke arah Anna, membuat gadis itu tertawa.
Keheningan menyeruak setelah Farel pamit, gadis itu terdiam cukup lama. Farel membuatnya kembali mengingat sebuah nama dan mimpi lama yang selalu menggetarkan hatinya. Anna berusaha melupakannya, tidak ingin terlalu jauh dan tenggelam lebih dalam. Namun, hatinya tidak sejalan dengan pikiran, nama itu sudah terlalu melekat, membuatnya tidak bisa terlepas dari sesuatu yang berhubungan dengan nama itu. Selalu penasaran dan ingin tahu lebih dalam ketika ada yang menyebut namanya, itulah yang selalu Anna rasakan.