Jatuh Terlalu Jauh

Unira Rianti Ruwinta
Chapter #12

Bagian Sepuluh : Dia Nyata, Sangat Dekat.


Yogyakarta, September 2018.

Disamping dikenal dengan sebutan kota pelajar dan mahasiswa yang sejak dulu menjadikan tujuan para lulusan sekolah lanjutan atas untuk menuntut ilmu, kota Yogyakarta dikenal juga dengan julukan sebagai kota Gudeg mengingat kuliner khas ini berasal mula dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.

Bagi kalangan tertentu tidak salah ada yang menyebut Yogyakarta sebagai Kota Budaya karena di hampir seluruh wilayah ini ditemui beragam kebudayaan, baik dalam bentuk artefak, prasasti, sejarah peninggalan masa lalu, maupun berupa aktivitas seni dan budaya mencerminkan nilai-nilai kelokalan sebagaimana kekhasan yang dimiliki setiap daerah. Selain itu, banyak sekali lokasi wisata yang bisa dikunjungi di sini, salah satunya kawasan titik nol kilometer. Titik 0 Kilometer Yogyakarta memang tempat favorit wisatawan untuk menghabiskan waktu, terlebih pada sore hari dan malam hari yang setiap hari selalu ramai disesaki oleh para wisatawan yang sekedar hanya untuk nongkrong di dudukan yang banyak disediakan di sekitar perempatan.

Ethan melihat teman-temannya tengah berkumpul, kakinya segera melangkah menghampiri mereka. Ethan muncul dengan rambut cepak mirip TNI, celana jins, kaus hitam polos dipadu kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung hingga siku, dan tak lupa headset yang selalu setia menemaninya.

“Widih, Bapak Tentara dari mana aja, nih? Baru nongol,” ucap Anam saat Ethan mendekat. Mereka selalu menggoda Ethan, memanggilnya dengan sebutan tentara karena sebelum memutuskan untuk kuliah, Ethan pernah mengikuti seleksi Akmil, tapi sayang mimpinya harus kandas saat tahap pantukhir.

Ethan tak menghiraukan gurauan teman-temannya, dia memilih untuk duduk di samping Galih. Sejak awal bergabung dengan komunitas basket dua tahun yang lalu, Ethan memang sangat dekat dengan Galih. Karena menurutnya Galih adalah sahabat yang paling normal jika dibandingkan dengan Anam dan Ivan.  

Masalah kepopuleran, Ethan memang sangat terkenal di kalangan senior, terutama senior perempuan. Kalau bertanya tentang Ethan ke senior perempuan, mereka akan menjawab, “Ethan yang ganteng itu, ya? Ethan yang ke mana-mana pakai motor gede? Ethan yang jago basket?” dan berbagai macam pujian lainnya. Namun, ada juga beberapa senior perempuan yang kurang menyukai Ethan, karena mereka pernah jadi korban penolakan Ethan. Jadi, jika mereka ditanya tentang Ethan, mereka akan menjawab, “Ethan yang belagu itu, ya? Ethan yang sok ganteng? Ethan yang katanya idola cewek-cewek itu?” karena Ethan tidak pernah menghiraukan mereka yang mengutarakan perasaan padanya.

Jadi, kalau ingin mengenal Ethan lebih jauh, harus sabar karena sebenarnya Ethan itu sulit ditebak, sifatnya yang cuek membuat banyak orang penasaran dibuatnya.

“Gue laper, makan, yuk!” Ivan berdiri.

“Mau kemana lo? Bapak Tentara kita baru datang, nih,” ucap Anam.

“Yuk, lah.” Ethan ikut berdiri membuat Anam, Ivan, dan Galih saling bertatapan. 

“Kok tumben,ya?” bisik Anam pada Ivan.

“Ethan juga manusia, butuh makan juga,” jawab Ivan. “Bro, traktir, ya?”

Ethan tersenyum dan mengangguk.

Salah satu alasan kenapa Ivan dan Anam masih tahan dengan sifat dinginnya, karena temannya itu tidak pernah membeda-bedakan teman. 

“Nungguin abang-abang sate langganan gue lewat aja, jangan yang mahal-mahal. Lidah gue takut keseleo kalau makanan mahal,” ucap Galih

“Kirain gue mau ngajak ke Johnsto atau ke mana gitu. Emang ya, tampang aja keliatan keren, orang kota, dan anak orang kaya,” sindir Anam, membuat Ethan tertawa.

****

Di antara banyaknya pengunjung yang berambut cepak, ada salah satu yang paling mencolok, bahkan sangat bisa dikenali dari kejauhan. Duduk di kursi yang berada di area pedestarian sambil menikmati jajanan cilok kuah, ditemani dengan es teh manis, dan juga kerupuk yang renyah. Tidak ada yang lebih nikmat baginya dibandingkan makan bersama dengan teman-teman ditemani angin sepoi-sepoi. Dia adalah satu-satunya mahasiswa di kampus yang memiliki banyak penggemar, walaupun tidak aktif dalam banyak kegiatan dan organisasi di kampus. Itu juga yang membuatnya menjadi tipe mahasiswa yang kurang disenangi para senior, terutama senior laki-laki karena merasa pamor dan keeksisannya kalah oleh Ethan.

“Kenapa lo nggak ikutan organisasi kayak gue, Tan?” Galih masih setia bertanya. Dia selalu penasaran dengan alasan Ethan yang selalu menolak setiap kali dia akan direkrut menjadi panitia organisasi.

“Kan, gue udah ikutan basket,” katanya sambil memasukkan sepotong cilok ke dalam mulutnya.

Galih menghela napas. “Itu komunitas bukan organisasi, komunitas beda kali sama organisasi. Bego, kok, dipelihara?” umpatnya.

Anam yang berada di samping Galih, membulatkan matanya menatap Galih tak percaya. “Kenapa lo?” tanya Galih, menyadari perubahan ekspresi Anam.

“Tan, masa tadi Galih bilang lo bego?” Anam mengadu pada Ethan.

Ethan menatap Galih tajam. Namun sepuluh detik kemudian, Ethan merangkul Galih, keduanya tertawa bersama membuat Anam menekuk wajahnya. Tiba-tiba Galih mengentikan tawanya saat menyadari ada beberapa perempuan yang mendekat ke arah mereka. Galih menyikut dada Ethan, matanya memberikan kode pada cowok itu.

“Kak Ethan, ya?” Ethan menoleh, menemukan dua orang perempuan yang sudah berada di depannya. Ethan yakin kedua orang itu adalah juniornya di sekolah. Samar-samar diingatannya, mereka adalah gadis-gadis yang tak sengaja Ethan lihat pada saat MPLS di sekolahnya beberapa waktu lalu.

“Ada apa, ya?” tanyanya

“Aku sama dia suka sama Kakak, Kakak itu ganteng.” Salah satu junior itu mengeluarkan cokelat dari dalam tasnya. “Tolong terima ini, Kak.”

“Itu cokelat buat Ethan doang, kita nggak dikasih?” tanya Ivan.

Keduanya menggeleng. “Khusus buat Kak Ethan, kalau Kakak yang lain mau, tinggal beli saja, di supermarket banyak.”

Ethan tertawa mendengar jawaban dari juniornya.

Ethan mengambil cokelat itu kemudian mengembalikannya. “Adek, kalian baru masuk sekolah, loh, harusnya kalian belajar yang rajin, jangan cinta-cintaan dulu.”

“Mending uang itu kalian tabung buat masa depan nanti.” Ethan tersenyum. “Kakak nggak bisa terima cokelat itu, kalau kalian maksa, kalian bisa kasih cokelat itu sama mereka yang lebih membutuhkan.” Ethan menunjuk ke arah tiga temannya, dia mengeluarkan selembar uang, kemudian pergi.

Merasa dipermalukan oleh Ethan, akhirnya mereka memilih untuk pergi dan memasukkan kembali cokelatnya ke dalam tas. Mereka merasa turun derajat, Ethan mempermalukan mereka di depan orang banyak. Tak jarang di antara banyaknya orang yang sedang makan di sana, mencibir perbuatan Ethan, mengatakan kalau Ethan sok jual mahal dan sebagainya.

“Ethan tuh emang gila, ya? Matanya katarak kali,” sarkas Anam. “Udah tahu tadi tuh junior cantik-cantik, eh dia malah tolak mentah-mentah.”

Galih mengangkat wajahnya, menyunggingkan senyum jail. “Itu baru sahabat gue, Ethan keren dah, sumpah.”

“Lo sama si Ethan tuh sama aja, sama-sama spesies langka. Bedanya Ethan tuh suka traktir kita, sedangkan lo? Boro-boro.” Anam menutup pembicaraan dengan meneguk es teh manisnya tanpa sisa.

****

Hari ini, Ucup mengajak Anna untuk berkeliling. Katanya, dia mau mengajak Anna untuk refreshing sebentar, sebelum perkuliahan dimulai. Kali ini, Ucup memilih untuk mengajak Anna berjalan-jalan dan mengunjungi beberapa tempat wisata yang tidak terlalu jauh dari kampus UGM. Mulai dari mengunjungi Benteng Vredeburg, dan berakhir di kawasan Titik nol kilometer.

Anna menatap takjub bangunan-bangunan kuno atau biasa disebut loji yang berada di depannya.

"Na, di sini kalau malem ramai banget, loh." Ucup tiba-tiba mendekat membawa dua botol minuman dingin dan memberikan salah satunya kepada Anna. "Mau nongkrong di sini sampai malem nggak? Ya, nggak malem-malem banget, sih. Sampai jam delapan aja, mau?"

Lihat selengkapnya