Terkadang kamu membutuhkan rasa sakit untuk dapat merasakan kebahagiaan, mungkin kalimat itulah yang cocok untuk Ethan saat ini. Meskipun terasa sangat menyakitkan tapi dia justru bersyukur, setidaknya dengan adanya rasa sakit itu membuatnya sadar kalau dia harus bangkit dan melawan rasa sakit ini. Ethan pernah merasakan bahagia yang tak terhingga, selalu merasa disayangi, dilindungi, hingga pada akhirnya suasana bahagia itu hilang dalam sekejap mata.
Untuk kesekian kalinya, Ethan harus memasang topeng bahagia saat bertemu dengan orang-orang di luar sana. Tanpa peduli hatinya yang retak saat ingatan tentang sosok perempuan yang selalu melindunginya kembali hadir, Ethan tetap harus terlihat baik-baik saja seolah tidak apa-apa. Ethan selalu merasa, semua ini hanya perlu waktu. Lama-kelamaan dia pasti akan terbiasa dan bisa mengikhlashkan kepergian ibunya. Tapi kenapa semakin hari, perasaan itu semakin menguat? Rasa rindu itu tidak bisa menipu, selalu menggebu-gebu tanpa kenal waktu.
Senyuman hangat yang selalu membuat hatinya tenang, suara tawa yang selalu menghiasi harinya yang kesepian. Lelucon dan perdebatan kecil yang sering mereka lakukan, Ethan merindukan itu.
“Ngelamun mulu, lagi mikirin apa, sih? Mantan?”
Pertanyaan Jessica berhasil menyentak Ethan dari lamunannya. “Siapa yang ngelamun?”
“Kamu lah ... masa Mbak?” Jessica menepuk pelan tangan Ethan yang berada di atas meja. “Gimana pun, orang yang ada di depan kamu ini tuh tetap kakak kandung kamu, Mbak cuma mau kamu cerita lagi ada masalah apa.”
Ethan menatap sejenak Jessica, kemudian mengembuskan napas berat. “Percuma aku cerita, nggak akan ada yang ngerti.”
“Apa yang Mbak nggak ngerti, Tan? Mbak ngerti kalau kamu masih belum bisa menerima kenyataan. Tapi ini udah tahun ke-lima semenjak kepergian Mama, apa kamu nggak kasihan sama Papa? Papa butuh seseorang buat nemenin dia,” kata Jessica
Ethan terdiam, kemudian melirik sekilas ke arah meja di dekat pintu masuk mengamati gadis yang tengah menatap ke arahnya. “Terus gunanya kita ada di sini itu apa?”
Jessica merasakan perubahan ekspresi Ethan, adiknya sangat membenci jika dirinya kembali membahas masalah ini. Gadis itu berharap adiknya bisa dengan cepat menerima kenyataan dan kembali membuka lembaran baru. Dia tidak ingin adiknya terlalu tenggelam dalam luka, walaupun dirinya merasakan sakit yang dirasakan Ethan. Di dalam hati kecilnya, ada perasaan tidak rela jika suatu saat nanti ada sosok baru yang akan menggantikan mamanya. Namun di sisi lain, dia juga tidak mau egois, sebagai sosok anak tertua dirinya harus bersikap dewasa.
"Mbak juga ngerti, Dek. Tapi sampai kapan mau kayak gini terus?”
Ethan merogoh ponsel di sakunya. “Hari ini ada acara nggak, Mbak?”
“Cih, pengalihan topik,” jawab Jessica.
“Serius, Mbak.”
“Nggak sih, tapi Mbak pengen nonton film “Beauty and the Beast”. Yang jadi Belle, kan, mirip gue,” katanya sambil tertawa.
Ethan memandang kakaknya dengan wajah datar. “Kalau ngarep tuh jangan ketinggian, kasihan artis yang peranin Belle, harus dibilang mirip kutil anoa.”
Mendengar itu, Jessica dengan gemas menarik rambut Ethan.
“Heh!” Jessica menjitak keras kepala Ethan, membuat cowok itu meringis kesakitan. “Pantesan lo nggak lulus seleksi akmil, mulutnya kayak cabe, sih.”
“Astaga,” Ethan menatap Jessica kesal. Cowok itu berkali-kali mengelus kepala sembari mengucapkan sumpah serapah untuk kakaknya.
Tak lama setelah itu, suara pintu kembali terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya memakai jas lengkap dengan tas di tangannya. Dia tidak datang sendiri, melainkan dengan seorang perempuan yang umurnya terpaut jauh dengannya. Jessica yang tengah tertawa karena Ethan pun langsung berdiri, melangkahkan kakinya menyambut siapa yang baru saja datang itu.
“Papa udah pulang?” tanyanya sambil mencium lengan pria yang dia panggil Papa itu.
Pria itu hanya mengangguk, dia sedikit melonggarkan dasinya. Berbeda dengan Jessica yang langsung menyambut kedatangan sang Papa, Ethan justru terlihat biasa-biasa saja. Dia hanya melirik sekilas ke arah pintu, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
“Gimana kuliah kalian, Nak?” Sandi, pria itu duduk di sofa berhadapan dengan kedua anaknya.
“Dia siapa?”
Ethan bersuara, dia lebih tertarik untuk bertanya dari pada menjawab pertanyaan dari sang Papa. Jessica mencubit lengannya, tapi cowok itu seolah tidak peduli. Ethan menatap tajam ke arah Sandi, mengetuk-ngetukkan jari ke meja, menunggu jawaban dari pri itu.
“Dia rekan kerja Papa di kantor,” jawab Sandi.
Ethan mengambil jaket lalu berdiri, cowok itu melangkah mendekat ke arah papanya.
"Kalau cuma rekan kerja nggak usah dibawa ke rumah segala. Yang namanya kerjaan kantor, ya, kerjain di kantor bukan di rumah," sarkasnya. Tatapan Ethan kemudian tertuju kepada perempuan yang sejak tadi hanya diam tak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Jadi sekarang saya harus memanggil Anda dengan sebutan Mbak atau Tante, ya?” bisiknya kepada perempuan yang berada di sebelah Sandi. “Bahkan umur Anda lebih muda dari kakak saya. Cih, penyuka om-om ternyata.”
Ethan melangkahkan kaki ke luar dari rumah, cowok itu selalu saja merasa tidak nyaman di sana. Pemandangan seperti tadi menjadi salah satu alasannya, bahkan setiap hari selalu seperti itu. Sejujurnya Ethan marah sekali saat ini, perempuan yang dibawa oleh Sandi ternyata seumuran dengan kakaknya, Jessica.
“Ethan!” panggil Jessica. “Mau ke mana? Kamu salah paham sama Papa, nggak boleh kayak gitu!”
Ethan menghentikan langkah, dalam hatinya dia merasa tidak enak kepada Jessica karena sebelumnya Ethan seperti memberi harapan kepada Jessica untuk menemaninya menonton. Cowok itu menatap kakaknya dari luar rumah, berat rasanya harus meninggalkan kakaknya dalam situasi seperti ini. Ethan tahu Jessica juga sependapat dengannya, tapi entahlah. Ethan tidak tahu apa yang membuat gadis itu hanya diam, tidak berontak seperti dirinya.
"Ada janji sama teman,” jawabnya singkat. “O, iya, kita nonton fimnya besok aja ya, Mbak. Aku pasti temenin kok, tenang aja.”
Setelah mengatakan itu, Ethan benar-benar pergi. Punggungnya perlahan mulai hilang dari pandangan, membuat Jessica mengembuskan napas panjang. Gadis itu benar-benar tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran adiknya, rasanya Jessica tidak tahu harus bagaimana meluluhkan hati Ethan agar mau menerima kenyataan.
***