Jatuh Terlalu Jauh

Unira Rianti Ruwinta
Chapter #16

Bagian Empat Belas : Sebuah Penghiburan

Memasuki akhir tahun Anna tengah disibukkan dengan berbagai tugas kuliah dan juga persiapan-persiapan UAS yang akan berlangsung dari akhir Desember hingga Januari tahun depan. Tiada hari tanpa belajar, Anna selalu datang ke kampus lebih awal dari biasanya. Merlin sering menjulukinya sebagai ‘Mahasiswa Kutu Kupret’ atau lebih jelasnya arti dari kutu kupret adalah kuliah tugas-kuliah presentasi. Bukan tanpa alasan Merlin memberikan julukan itu kepada Anna, karena dia sering sekali melihat Anna yang mengerjakan tugas di luar jam kuliahnya. Bahkan saat Merlin meminta untuk menemaninya makan, Anna tidak pernah lupa membawa buku-buku tebal ke mana pun dia pergi. Sebulan belakangan ini Anna memang memfokuskan pikirannya, dia ingin menunjukkan kepada orang tuanya terutama Sang ibu, kalau dia serius dan tidak main-main dengan kuliahnya.

Dosen Pengantar Bisnis tengah menjelaskan halaman demi halaman yang ada di depan, tapi konsentrasi Anna tidak sepenuhnya tertuju ke sana. Gadis itu hanya melihat-lihat hasil cetakan dari power point dosen tersebut, sementara pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana.

Dia mengambil ponsel yang diletakkan di samping lembaran hasil cetakan power point, membuka instagram pribadinya, menggerakkan jari ke atas ke bawah tanpa minat. Beberapa hari ini, kehidupan Anna terasa sangat monoton, lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergelut dengan berbagai tugas kuliah. Sudah beberapa hari pula dia tidak melihat Ethan, tidak tahu kabar laki-laki itu. Dia melihat foto profil milik Ethan berwarna merah, pria itu baru saja membagikan cerita, membuat Anna dengan cepat membukanya.

Tiba-tiba saja, Anna merasa ada yang patah dan terluka dari hatinya.

“Lo kenapa?” tanya Merlim yang duduk di sebelahnya. “Sakit?”

“Ah, nggak apa-apa. Gue baik-baik aja.”

“Jawaban lo khas cewek banget, Na,” cibir Merlin.

Anna hanya tersenyum sekilas, lalu membuka kalendar yang ada di ponsel. Dia baru ingat kalau hari ini tanggal 24 November dan besok Ethan berulang tahun. Gadis itu mematikan ponsel, berusaha untuk kembali fokus ke depan. Sebetulnya Anna ingin benar-benar fokus dan tidak mau memikirkan apa pun, hanya saja tiba-tiba dia teringat Ethan. Sudah hampir dua pekan dia tidak mengetahui bagaimana kabar lelaki itu.

“Na, ternyata Brayn sama Karin memang dekat, loh,” bisik Merlin pada Anna.

Anna menoleh ke arah Merlin sebentar, sebelum akhirnya kembali menatap lurus ke depan.

“Kemarin gue papasan sama mereka. Kayaknya,sih, mereka mau ke gereja,” lanjutnya.

Anna berusaha untuk pura-pura tuli dan bisu, berharap Merlim berhenti membahas tentang itu. Namun bukannya berhenti, Merlin semakin bersemangat membahas kedekatan Ethan dengan Karin. Dia berusaha untuk tersenyum saat Merlin meminta pendapat tentang Ethan dan Karim padanya.

“Iya, mereka serasi, sama-sama pintar. Gue juga senang lihat mereka dekat,” jawab Anna pelan, lalu setelah itu tersenyum ke arah Merlin tapi terkesan seperti memaksakan senyumnya.  

Tentunya itu bohong, hati Anna tidak senang melihat kedekatan Ethan dan Karin. Dia terluka, seperti ada ribuan pisau yang menghujam hatinya. Belum lagi saat Anna melihat instastory milik Ethan beberapa saat lalu, hatinya seperti diliputi kegelisahan

Dosen Pengantar Bisnis pun telah menyelesaikan kelasnya, lalu mahasiswa keluar dari ruangan satu persatu. Anna merapikan buku-buku yang dia keluarkan tadi. Lalu dia dan Merlim keluar menuju kantin.

“Pulang langsung? Nggak ada kelas lagi, ‘kan?” tanya Anna, saat mereka tengah berjalan keluar dari gedung perkuliahan.

“Ah, lo, mah, kebiasaan, dasar mahasiswa kutu kupret,” ledek Merlin.

“Yeee ... daripada lo, mahasiswa kucing-kucing,” balas Anna.

“Kucing-kucing, apaan tuh?”

“Kuliah cari yang bening-kuliah cari yang bening. Lo banget, ‘kan?”

Merlin terkekeh mendengar jawaban Anna. “Emang dasar lo cabe-cabeannya laki KPop,” katanya sambil ketawa. “Ya udah, kita nunggu Acha dulu. Dia masih ada kelas, kan?”

Keduanya tertawa lagi, sepertinya mereka memiliki selera humor yang hampir sama. Hanya karena hal-hal sepele dan tidak jelas, keduanya bisa tertawa bahkan sampai keluar air mata.

Di waktu yang bersamaan, Ethan dan Galih memperhatikan keduanya. Bukan sengaja, hanya saja suara tawa mereka terdengar cukup keras dan bahkan cukup menyita perhatian beberapa mahasiswa yang ada di sana.

"Loh, bukannya itu cewek yang dulu hampir jatuh karena nabrak pohon itu, kan? Yang pas gue mau nolongin, dia malah kabur?" Tanya Galih pada Ethan.

"Heem," jawab Ethan singkat.

"Ah, gue juga ingat." Galih kembali melanjutkan perkataannya, "Dia juga beberapa kali papasan sama gue di koridor fakultas gue, kayaknya dia punya temen atau mungkin cem-ceman anak kedokteran, deh."

"Iya udah, sih, biarin aja. Itu, kan, urusan dia."

Barulah Galih benar-benar dia saat mendengar kalimat terakhir yang Ethan katakan setelah sebelumnya mengoceh tiada henti.

***

Tiga puluh menit pikiran Anna melayang-layang, antara sekumpulan materi kuliah dan pemikirannya tentang kedua orang tuanya yang akan datang ke sini. Pemikiran itulah yang membuat Anna menutup sekumpulan buku tebal miliknya, lalu keluar mencari udara segar.

Saat Anna baru saja keluar dari kamar dan hendak pergi ke suatu tempat, ia dikejutkan oleh kedatangan Sinta dan Deni yang tengah berdiri di depan pintu. Sinta melipat tangannya di dada, sementara Deni hanya tersenyum saat melihat pintu kamar Anna terbuka. Anna mengembuskan napas panjang, membungkuk menyalami orang tuanya, lalu akhirnya duduk dengan mereka.

“Anna,” panggil Sinta.

Anna mendongak, raut wajahnya terlihat cukup kaget saat Sinta memanggilnya. Perlahan, Anna mulai memberanikan diri untuk menatap ibunya. “Kenapa, Bu?”

“Kamu itu sebenarnya bego atau idiot, sih?” Pertanyaan Sinta sukses membuat Deni membulatkan matanya, begitu juga dengan Anna. “Apa kamu nggak punya rasa malu? Tetangga di kampung banyak yang ngomongin kamu.”

“Bu, jangan ngomong kasar sama Anna!” bentak Deni. "Kita masuk dulu, bicarakan ini baik-baik di dalam. Malu kalau sampai ada yang lihat dan dengar, Bu."

Sepertinya, kali ini ayahnya benar. Kalau mereka berbicara di sini, takutnya akan memancing rasa penasaran tetangga. Mengingat ekspresi yang ditunjukkan oleh Sinta, sepertinya ini adalah masalah yang serius dan tidak akan selesai dalam waktu yang singkat.

Sambil melihat kanan-kiri, Anna mengajak kedua orang tuanya untuk berbicara di tempat yang sepi. Pekarangan belakang tempat kos menjadi solusi yang dipilih Anna. Mungkin bukan solusi terbaik yang Anna dapatkan, tapi menurutnya tempat itulah yang menjadi satu-satunya tempat teraman dan tidak akan ada orang yang peduli jika pertengkaran hebat terjadi di antara mereka.

"Oke, ibu bisa mengatakan apa pun yang ibu mau di sini, ini tempat aman yang jarang ada yang lewat ke sini," ucap Anna dengan raut wajah tenang.

Lihat selengkapnya