Hari ini kota Yogyakarta didera hujan, intensitasnya cukup deras disertai dengan angin yang cukup kencang. Sehingga membuat sebagian orang memilih menepi untuk berteduh dan berlindung dari cuaca yang cukup ekstrim ini. Sebenarnya dengan menggunakan mobil, Anna dan Acha bisa saja tidak menepi dan melanjutkan perjalanan. Tapi ketika melihat ekspresi Anna yang kelihatan bingung, akhirnya Acha memilih untuk memberikan instruksi kepada sopir taksi online itu untuk membawa mereka ke sebuah kafe yang cukup terkenal di kota Yogyakarta.
Entah mengapa tiba-tiba saja Anna mengajak Acha untuk bertemu, Acha merasakan ada yang aneh dari temannya itu belakangan ini. Acha duduk di salah satu kursi yang berada di dekat jendela, sehingga membuat hujan di luar sana tampak begitu nyata. Ia duduk sembari mengamati hujan dan pikirannya bercabang ke mana-mana.
Sebenarnya, Acha tidak ingin mencari tahu tentang semua masalah Anna, kesannya terlalu ikut campur. Hanya saja, dia merasakan Anna sudah terlalu banyak menanggung beban sendirian.
Memang terkadang takdir berkonspirasi membentuk suatu kebetulan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Gadis pintar dan baik seperti Anna harus dihadapkan dengan pilihan seperti ini, terlebih saat Acha tidak sengaja melihat sebuah foto yang tersimpan di galeri ponsel milik Anna.
"Cha.”
Panggilan itu sejenak membuat pikiran Acha teralihkan, di hadapannya Anna telah datang dengan membawa dua minuman hangat yang tadi perempuan itu pesan langsung. Acha sempat terdiam melihat Anna mengikat rambutnya, karena itu merupakan hal yang jarang dilakukan oleh Anna.
“Sesuai pesanan lo, American Latte tapi nggak terlalu manis,” katanya tersenyum sembari duduk di kursi yang berseberangan dengan Acha.
Acha mengangguk, bibirnya ikut menyunggingkan senyum sembari menatap gadis yang ada di depannya. “Jadi, ada apa? Gue tahu lo ngajak ketemuan tanpa ada Merlin, lo pasti mau cerita sesuatu."
"Gue ajak Merlin juga, kok, cuma jamnya beda. Mungkin beberapa menit lagi dia bakal datang. Gila, ya, gue?" Anna tertawa.
"Tapi, Cha. Lo kayak dukun, sih, bisa baca pikiran gue dan selalu tepat sasaran,"tambahnya.
"Gila aja lo! Nggak ada perumpamaan yang lebih aestetik lagi apa, ya, selain dukun?" Tanya Acha yang lebih terdengar seperti memerotes.
"Sebenernya gue nggak mau cerita sama siapa pun, tapi gue ngerasa, kok, kayaknya makin berat buat gue. Gue nggak mau terlalu dikekang, tapi di sisi lain gue juga nggak mau durhaka,” ujarnya terlalu pelan. “Gue bingung, gue nggak tahu harus gimana.”
“Tertekan karena perjodohan itu?” Acha mencoba menebaknya, membuat Anna kaget.
“Lo tahu dari mana?”
Acha tersenyum simpul. “Karena gue yakin beberapa remaja perempuan seumuran kita di kampung begitu tertekan dengan itu. Nggak semuanya, sih, hanya beberapa saja dan salah satunya lo.”
"Sori, nih. Tapi, mungkin gue juga bakal ngerasain hal yang sama, sih, cuma beruntung orang tua gue nggak terlalu dengarin omongan tetangga. Apa pun itu, gue harap lo bisa melaluinya, Na."
“Cha.” Anna kali ini menoleh, matanya menatap Acha dalam. “Hati gue sakit, sakit dalam segala hal.”
Acha mengangguk. “Sakit hati itu wajar, tapi jangan gara-gara ini lo jadi terpuruk dan sedih berlarut-larut. Perjalanan hidup lo masih panjang, ada banyak orang yang berharap lo akan sukses di kemudian hari. Gue yakin suatu saat nanti lo bisa bungkam semua mulut yang merendahkan lo. Nggak usah terlalu diambil hati, ya, omong orang lain? Karena mereka nggak tahu dan nggak pernah ngerasain semua beban lo."
Anna menunduk. Benar, bersama Acha yang begitu ceplas-ceplos membuatnya tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari perempuan itu, semuanya begitu mudah ditebak oleh Acha.
“Yang gue bisa simpulkan di sini, sebenarnya orang tua lo maksudnya baik. Mereka tidak ingin lo jadi bahan omongan tetangga, tapi mungkin cara mereka membela lo salah. Mereka itu sayang sama lo, Na . Percaya sama gue, nggak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya,” katanya sambil menyentuh tangan Anna. “Sori, kemarin gue nggak sengaja lihat fotonya Ethan di ponsel lo. Jadi, benar lo ada rasa sama dia?"
Anna tersekat mendengar pertanyaan dari Acha, bagaimana dia bisa tahu tentang itu, padahal tidak ada yang tahu tentang itu selain dirinya?
“Rasa suka lo sama dia udah lebih dari rasa kagum, kan?"
“Cha.”
“Gue nggak masalah kalau misalnya gue nggak boleh tahu tentang perasaan lo sama Ethan, karena bukan kapasitas gue untuk tahu lebih jauh dan juga lo nggak perlu kasih tahu gue kalau sekiranya lo enggan,” katanya sambil menatap lekat Anna. “Gue cuma berharap lo akan baik-baik aja dengan apa pun perasaan yang lo punya ke dia."
Anna tidak menyahut, tapi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau dia juga khawatir.
"Rasa suka sama jatuh cinta beda tipis, Na. Dari yang gue pernah dengar, sih, kalau lo suka sama dia lebih dari empat bulan berarti lo udah jatuh cinta sama dia, sangat dalam malah," ucap Acha membuat Anna kembali tersekat.
"Gue juga pernah dengar itu," jawabnya pelan.
"Perasaan suka lo sama Ethan baru akhir-akhir ini aja, kan?" Tanya Acha ragu.
"Gue udah suka dia sejak 2017, Cha," Ucap Anna dalam hati. Namun, yang keluar dari mulut Anna adalah kalimat yang berbeda. Entahlah, dia masih ingin sedikit menyembunyikan ini, padahal Acha sudah mengetahui sebagian besar rahasia yang sejak awal tak ingin dia bagi kepada orang lain.
"Gue nggak tahu, Cha."
"Jangan, ya, Na. Jangan sampai lo jatuh terlalu jauh sama Ethan, gue takut lo akan sakit hati nantinya."
Kalimat ini lagi yang kembali harus Anna dengar. Jujur saja Anna sedikit kesal setiap kali Acha mengucapkan kalimat itu dengan mudahnya, tapi Anna juga tidak mau egois hanya karena perasaannya yang tak direstui ini, pertemanan mereka jadi merenggang.
"Itu Merlin datang, cepet banget, ya, dia." Anna mengalihkan pembicaraan tepat ketika sosok Merlin baru saja sampai di depan kafe. Gadis itu melambaikan tangannya di balik jendela berusaha memberitahu Merlin tentang posisinya dan Acha.
Anna memberikan kode kepada Acha agar gadis di depannya itu bertindak seolah-olah baru datang dan Acha cukup pintar dalam merespon kode-kode yang Anna berikan.
"Cha, lo udah nyampe sini aja," kata Merlin yang baru saja ikut bergabung.
"Baru nyampe, kok, beberapa menit yang lalu nih," jawabnya bohong.
Mulut Merlin membentuk huruf O sempurna. Kemudian dia beralih menatap Anna dengan mata yang sedikit memicing. "Na, kamar kita itu sebelahan, loh. Kenapa nggak nungguin gue aja. Biar hemat ongkos gituloh gue."
"Lo mandinya lama banget, kayak tuan putri aja," ucap Anna memberikan pembelaan. "Betewe, nanti kita nongkrong di sini dulu aja, ya. Entar agak sorean kita pindah, soalnya temen gue mau ngajak makan di Jhonsto katanya."
"Temen lo laki?" Tanya Merlin.
Anna hanya mengangguk.
"Cakep nggak?"
"Cakeplah namanya juga laki. Kalau cewek baru cantik," sahut Acha.
"Kalau ngomongin laki cakep, muka lo nggak enak banget, Cha. Jangan gitu dong! Gue juga pengin kali dekat sama laki cakep, walaupun muka gue ngga seglowing muka lo."
Anna hanya tertawa mendengar kedua temannya yang terus saja berdebat.
Di waktu yang sama tempat yang berbeda, Ethan tengah berkumpul bersama teman-temannya dan kali ini Galih yang biasanya super sangat sibuk pun ikut berkumpul. Rumah yang sering dijadikan markas untuk mereka berempat untuk berkumpul biasanya adalah rumah Galih. Selain karena posisinya lumayan dekat dengan kampus, juga dikarenakan rumah Galih memiliki lapangan basket yang cukup luas, yang terletak di belakang rumahnya. Tapi hari ini, mereka tidak berkumpul di rumah Galih, melainkan di rumah Anam.
“Gue aja yang ambilin minum, Nam,” cegah Ethan ketika Anam bersiap ingin melangkah ke dapur.
Anam menatap Ethan heran seolah sedang menyelidiki sesuatu. “Tumben amat, ada apa gerangan si Bapak Tentara. Kok, jadi perhatian?”
Ethan menggeleng, senyum tipisnya terbentuk. “Nggak apa-apa, biar gue aja,” sahutnya pendek, tak menanggapi guyonan dari teman-temannya. Dia segera melangkah meninggalkan ketiga sahabatnya yang sedang sibuk masing-masing. Mereka sedang bermain playstation.
“Van, jangan ngegas, santai aja, dong,” gerutu Anam. “Kalah, nih, gue.”
“Lo emang udah kalah, Nam. Dari postur tubuh aja, menangan gue,” sahut Galih yang tiba-tiba duduk di samping Anam.
Di saat semuanya sedang sibuk, tiba-tiba saja ponsel Ethan berbunyi.
“Buka, dong, berisik amat tuh handphone Bapak Tentara udah kayak admin online shop,” omel Anam, fokusnya tidak berpindah dari layar playstation. “Buka, dong, Tan.”
“Tan-tan lo pikir gue setan? Lo pikir gue mantan? Lo pikir gue jemputan?” sambar Galih tak terima.
“Bukan setan, bukan mantan, apalagi jemputan. Maksud gue ... Tante,” balas Anam sambil tertawa.
“HEH!” teriak Galih sambil menjitak kepala Anam. “Geser sana, sempit, nih. Kayak nggak ada tempat banget, geli gue duduk sedekat ini sama lo.”