Jatuh Terlalu Jauh

Unira Rianti Ruwinta
Chapter #22

Bagian Dua Puluh : Tempat Berteduh

Bagi Anna, hidupnya sudah seperti komedi putar.

Seperti sebuah adegan pada drama melankolis. Dengan dada yang begitu sesak, Anna membiarkan tangisnya menyatu bersama hujan. Paling tidak hujan bisa sedikit membawa kesedihan yang begitu banyak dalam hidupnya. Berkat hujan banyaknya air mata yang jatuh mampu tersamarkan begitu saja. Orang-orang tidak mungkin mengerti kalau saat seperti ini adalah salah satu titik paling hancur dalam hidupnya.

Anna berpikir, mungkin sebaiknya dia tak terlalu memedulikan ambisi ibunya yang bersikeras untuk menjodohkan dirinya. Mungkin seharusnya, dia bersikap lebih keras dan teguh pendirian setiap kali ibunya membahas hal yang dia tidak sukai. Tapi di saat pikiran itu mulai melintas dipikirannya, rintik hujan tak lagi membasahi tubuhnya, padahal dia bisa melihat dengan jelas kalau hujan masih mengguyur kota Pelajar itu.

Selepas acara pelariannya dari Ethan, dia benar-benar berusaha keras untuk bersembunyi di tempat yang tak bisa ditemukan oleh Ethan.

Di luar dugaan, Anna melihat payung berwarna hitam berada di atas kepalanya, melindungi Anna dari ribuan tetes air hujan.

"Bagaimana bisa---" ucapan Anna terpotong begitu sebuah tangan kembali terulur padanya.

Malam itu, ketika hujan mulai jatuh membasahi bumi. Anna dengan susah payah bersembunyi dan persembunyiannya diketahui orang lain, dia dengan susah payah juga menyusun penggalan demi penggalan kalimat yang akan dia katakan sebagai alasan.

Tatapan mata itu begitu teduh dan menenangkan, bibir yang membentuk lengkungan tipis itu begitu hangat membuat siapa saja akan kagum dan jatuh cinta saat melihatnya.

"Ayo!" Kata pertama yang keluar dari mulut lelaki yang selama ini membuat hatinya tak karuan.

Dia adalah Ethan.

Laki-laki pemilik senyum sederhana yang membuat banyak perempuan jatuh cinta.

Laki-laki pemilik mata indah dengan tatapan yang meneduhkan.

Mencintainya adalah sesuatu yang tak pernah terencana sebelumnya.

Bertemu dengannya adalah keajaiban Semesta yang memberikan makna luar biasa.

Dia adalah Ethan.

Sang pemeran utama dalam skenario cerita yang deret kalimatnya sudah sangat dihafal di luar kepala.

Sekali lagi, dia adalah Ethan.

Sebuah patah hati yang selalu Anna ulangi berkali-kali.

Tak ada pilihan lain sepertinya selain menyambut uluran tangan Ethan. Gadis itu menghapus air matanya, kemudian tangannya terulur hingga tangan miliknya bersatu dengan tangan milik Ethan.

Berjalan bersama Ethan diiringi suara rintik hujan, membuat tangisnya kembali datang. Sesekali dia melirik ke arah Ethan yang masih setia menatap lurus ke depan. Ini adalah kenyataan, bukan mimpi yang selama ini dia harapkan menjadi nyata.

Setelah menemukan tempat berteduh yang nyaman, Ethan langsung memesan minuman hangat untuk dirinya dan juga Anna. Hanya berselang beberapa menit, wedang ronde pesanan mereka sudah tersaji di meja.

"Diminum dulu selagi masih hangat," tawar Ethan.

Anna mengangguk pelan.

"Lain kali, jangan menghindar seperti tadi. Justru di saat seperti ini, kamu butuh teman."

Gadis itu tidak menjawab. Jari-jari tangannya sibuk memainkan sendok yang beradu dengan mangkuk di depannya.

"Sudah berdoa?"

"Hm?" Anna malah bertanya balik kepada Ethan.

"Maksudnya sudah salat belum?"

Dia menggeleng, "Belum."

"Setelah hujan agak reda, kita cari masjid. Kamu salat dulu, nanti aku temani sampai selesai."

Tidak ada lagi obrolan yang tercipta dari mereka. Keduanya sibuk dengan dunia masing-masing. Lalu, ketika suara alunan musik mulai terdengar, Ethan sedikit bersenandung pelan. Laki-laki itu bernyanyi mengikuti lagu yang tengah diputar, sementara Anna dengan mata yang sedikit sembab kembali menatap kagum ke arah Ethan. Perlahan bibirnya mulai simetris membentuk lengkungan indah, menikmati kekagumannya terhadap sosok Ethan yang kian hari kian membesar.

"Tuhan, bila masih ku diberi kesempatan.

Izinkan aku untuk mencintanya.

Namun, bila waktuku telah habis dengannya.

Biar cinta hidup sekali ini saja."

Ethan menyanyikan lagu itu tanpa melepas pandangannya dari mata Anna. Wajah tampan dan suara merdu milik Ethan membuat air matanya hadir kembali. Meskipun Anna tahu sosok laki-laki di depannya sedang bernyanyi biasa saja dan tentu saja bukan untuk dirinya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya kembali tersentuh. Entahlah, hari ini perasaan Anna memang sangat tidak karuan.

"Suara kamu bagus," ucap Anna tepat ketika lagu mulai berganti.

"Oh, ya?"

Anna mengangguk lagi, "Saking bagusnya aku sampai terharu, hehehe."

"Kalau kamu pengin dengar aku nyanyi lagi bilang aja, nanti aku kirimin hasilnya ke kamu," tawar Ethan.

Gadis itu tersenyum, "Memang boleh?"

"Tentu saja."

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi keduanya masih berada di salah satu angkringan yang tak jauh dari titik nol kilometer. Hujan sudah mulai reda, beberapa orang lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan mereka setelah berteduh selama satu jam di sana. Tak terkecuali Anna dan Ethan, mereka juga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan pergi mencari masjid karena Anna belum salat isya. Sempat terjadi perdebatan antara Anna dan Ethan karena keduanya saling berebut untuk membayar hidangan yang mereka pesan. Sampai akhirnya, mereka mulai memutar otak agar bisa adil dalam menentukan siapa yang akan membayar itu dan benar saja kali ini Anna harus menyerah dan membiarkan Ethan yang membayarnya.

Keduanya berjalan beriringan dalam gelapnya langit Kota Yogyakarta, langkah kaki yang seirama tanpa ada sepatah kata yang terucap menjadi teman mereka selama perjalanan. Lalu, ketika mereka menemukan sebuah masjid, seolah menjadi tempat perpisahan di antara mereka. Anna langsung masuk ke dalam masjid, sementara Ethan menunggunya di sebrang jalan.

Gadis itu berkali-kali melihat Ethan dari jauh, dia merasa malam ini Semesta berpihak padanya dengan memberikan kesempatan untuk berduaan bersama Ethan. Laki-laki itu tengah bermain ponsel, tak menyadari jika Anna menatapnya dari jauh.

Beberapa menit berlalu, Ethan sesekali melirik jam tangannya, kedua matanya menangkap sosok Anna yang sudah keluar dari masjid. Dengan cepat dia berdiri, langkah kakinya langsung menyambut Anna yang mendekat ke arahnya.

"Maaf, ya, nunggu lama. Harusnya kamu pulang aja, jangan nungguin aku," sahut Anna tepat ketika mereka saling berhadapan.

"Nggak apa-apa, ini udah malam dan nggak baik kalau perempuan pulang sendiri. Apalagi kamu lagi dalam keadaan kacau begini," jawab Ethan terdengar tulus.

"Makasih banyak, ya, Tan. Kamu udah datang sampai nemenin aku salat."

Lihat selengkapnya