Gerimis. Anna lebih tertarik melihat gerimis di luar jendela kelas. Rasanya Anna ingin bermain, berdiri sambil merentangkan tangan di perempatan jalan, mendongak, membiarkan wajah dan rambutnya basah oleh butir air hujan. Dia ingin bermain hujan, tapi dia juga terlalu takut. Hujan selalu datang bersama petir yang menyambar-nyambar.
Di kursi sebelah, Naning sedang sibuk menelpon gebetan barunya, dia bilang mereka berkenalan di sosial media. Anna tidak habis pikir dengan rekannya yang satu ini, seperti tidak ada kapoknya. Kebetulan Naning kalau sedang jam kosong memang suka mengunjungi teman-teman satu kosnya secara bergantian.
“Percakapan kita kayaknya udah mulai melantur, deh. Aku tutup dulu, ya. Kamu jangan lupa makan sama istirahat yang cukup,” ucap Naning sebelum mematikan sambungan telepon itu.
“2 jam 30 menit,” Anna tiba-tiba menyahut. “Awas radiasi loh nelpon selama itu. Ke depannya, kalau nelpon biasakan di telinga kiri. Soalnya kalau di telinga kanan berbahaya, karena terlalu dekat sama otak.”
“Sama aja. Di kiri juga dekat sama otak, kok. Otak gue, kan, ada dua. Kiri sama kanan, memangnya otak lo satu doang?”
Anna menghela napas panjang, kemudian memutar bola matanya malas. “Nggak gitu juga konsepnya, Naning.”
“Makanya lo cari pacar, biar lo bisa ngerasain nikmatnya telponan selama berjam-jam,” tukasnya.
Bukannya menjawab, Anna lebih memilih untuk memainkan ponselnya dan mengabaikan Naning. Beberapa hari ini dia seperti sedang berpuasa memainkan sosila media. Pasalnya, ponsel itu layaknya bangkai dan kuburan yang sepi. Anna sengaja tidak mengisi pulsa dan paket internet untuk beberapa hari ini, terlalu malas rasanya memainkan ponsel saat suasana hati sedang berantakan. Dia membuka instagram, tangannya menarik-ulur linimasa sosial media itu. Tiba-tiba saja dia teringat akan seseorang, lantas Anna mengetik sebuah nama di kolom pencarian, hingga muncul akun milik orang itu.
Layar ponsel itu menampilkan nama Ilham Bramansa beserta beberapa foto terbaru di sana. Sepertinya Ilham baru-baru ini sudah menata ulang akun miliknya itu. Jika dulu hampir seratus foto yang terpampang di sana, kini hanya ada sekitar dua puluh foto saja. Salah satunya adalah foto di mana dirinya sedang berdiri di tugu yang fenomenal milik STAN di Bintaro. Ternyata Ilham lolos seleksi dan berhasil menembus prodi Bea Cukai di sana.
Mata Anna mendadak memanas, jiwa irinya seketika bergolak. Suatu kebanggan tersendiri jika dia juga berhasil menembus sekolah kedinasan itu, di mana banyak orang yang menggantungkan mimpinya di sana. Anna berusaha untuk menenangkan diri, perjuangan Ilham mungkin lebih besar, sehingga dia bisa berhasil menembus sekolah dengan kedisiplinan luar biasa itu. Jarinya terulur menyentuh kolom komentar, membaca satu per satu tulisan di sana yang lebih didominasi oleh ucapan selamat atas keberhasilan Ilham.
“Na, Ilham lolos seleksi di STAN. Lo udah tahu?” tanya Naning tiba-tiba.
Anna mengangguk, “Udah, gue baru liat postingan terbaru dia.”
“Benar, kan, kata gue. Ilham itu bukan cuma ganteng, tapi dia juga cerdas.” Naning terkekeh pelan, kemudian menambahkan, “Coba aja dia tuh ada di sini, udah gue godain abis-abisan.”
“Iya, Ilham itu ganteng dan pintar, gue mengakuinya. Tapi, untuk masalah perasaan, gue nggak tertarik sama sekali. Ada orang yang jauh lebih memikat gue daripada Ilham,” ucapnya tanpa sadar.
“Wah, lebih ganteng maksudnya?” tanya Naning antusias.