Mata Alin dan laki-laki itu bertabrakan. Dari balik kacamata hitam yang ia kenakan, dirinya dapat melihat bentuk wajah dari laki-laki yang menabraknya itu. Tampan. Keren. Manis. Dan begitu banyak rangkaian kata lainnya yang menggambarkan sosok laki-laki di hadapannya saat ini.
"Ada yang sakit ga? sorry banget ya tadi ga sengaja. Lagi buru-buru soalnya." kata laki-laki itu khawatir
Alin tersentak. Membenarkan kacamata hitam yang mulai turun dari tempatnya. "Iya gak apa-apa." jawab Alin canggung
"Oh syukurlah. Kalo gitu duluan ya." ucap laki-laki itu ramah dan dibalas anggukan Alin
Mata Alin masih tertuju memandangi tubuh tegap laki-laki itu dari belakang. Cara ia berjalan, cara ia memandang wanita, cara ia meminta maaf padanya berhasil membuat Alin terpana. Dag. Dig. Dug. Alin memegang bagian dada sebelah kirinya. Terasa jantung Alin berdenyut tiga kali lebih cepat dari biasanya. Oh tidak mungkin. Deg-degan macam apa ini? Bagaimana bisa dirinya jatuh hati dengan laki-laki yang baru ia temui?
Alin menggeleng cepat. Menghapus semua keanehan yang ada dipikirannya saat ini. Dirinya tersadar bahwa ia harus segera menemui Kakaknya itu.
"Alin sadar Lin. Bukan waktu yang tepat memikirkan laki-laki yang tak kau kenal itu." kata Alin monolog
***
Di kantor polisi tepatnya di ruang tunggu, Rani menunggu anak laki-lakinya itu keluar untuk menemui dirinya. Terlihat saat itu Rani berusaha tegar mendengar berita tentang Alan. Dirinya berulang kali membuang nafas dalam seraya memegang erat ponsel miliknya. Tatapan matanya pun kosong menatap ubin lantai ruangan itu. Dirinya berusaha untuk berpikir bahwa Anaknya tak akan mungkin mengonsumsi barang haram tersebut. Setelah menunggu sekitar 45 menit lamanya Alan keluar menemui Rani, Mamah nya. Tangis Alan pecah manakala ia melihat sosok Mamah di hadapannya. Alan sujud mencium kaki Rani. Seraya mengucapkan puluhan kali kata maaf dari bibirnya.