
Hawa panas menyelimuti siang. Terik seluas hamparan lembah sejauh penjuru. Lembah tandus tampak gersang dalam kurun waktu lama. Tak satupun yang bernyawa tampak berlalu. Wajah lembah tandus membisu sepanjang siang. Tulang belulang binatang terserak, sebagian setengah terkubur di tanah retak.
Sepi. Sunyi. Hening.
Sesekali angin lirih terdengar menderu. Beberapa pohon raksasa sudah lama tanpa tanda kehidupan, menyisakan dedaunan kering. Saksi bisu peristiwa silam yang tragis.
Samar-samar, tampak bayangan menerobos kesunyian lembah. Kabut tipis menyingkap sosok itu menunggang kuda. Terhenti sejenak, ia mencari jejak arah kemana akan dituju. Namun hanya kesunyian menjadi jawaban.
Seorang lelaki menunggang kuda. Menyingkap tudung jubah bagian kepala. Jubahnya melawan terpaan angin berdesir seperti jarum menusuk-nusuk. Tidak cukup jelas apapun yang ada di hadapan lelaki berpenunggang kuda itu. Situasi tidak memungkinkan pandangannya menatap apapun di sana.
Beberapa saat kemudian, anak buahnya menyusul. Derap langkah kuda terhenti di samping lelaki berpenunggang kuda yang memimpin rombongan. Ringkik riuh kuda memecah kesunyian lembah.
"Perkiraanku benar," ia tertegun sejenak. Mengamati sekitar tempat itu, "Ternyata kita telah memasuki jalur Lembah Arwah. Tidak cukup waktu untuk kembali. Sebaiknya kita jangan berlama-lama di sini!" kata Ketua memimpin rombongan.
Pemimpin berkuda dan sekawanannya lekas memacu kuda. Meski ketakuan, kuda-kuda dipaksa menerobos jalur sunyi berkabut di hadapan mereka. Hingga satu titik terjal berbatu mengjentikan langkah kuda yang mereka tunggangi. Pemimpin diikuti tujuh orang bawahannya terpaksa turun dan menuntun kuda masing-masing. Mereka waspada dan siaga sembari berjalan hati-hati.
"Sssh ...," sesekali mereka mengelus kuda agar tenang.
"Jangan menimbulkan suara gaduh, hati-hati langkah kalian," lanjut ketua yang memimpin kepada anak buahnya. Perhatiannya tetap waspada terhadap situasi sekitar.
Pasukan Bayangan. Mereka bukan sekawanan pengecut. Tak gentar menerobos lembah tandus dan panas. Debu dan kabut hampir tidak ada beda. Sesekali pekatnya kabut memudar. Tampak semakin jelas oleh rombongan itu, sebuah hamparan sangat sunyi dan mencekam.
Hingga akhirnya perjalanan mereka berujung pada suatu pemandangan mengejutkan. Di depan mata, tampaklah pohon-pohon mati. Samar-samar sosok-sosok menggantung di antara dahan kering. Semakin pasukan itu mendekat, semakin jelas mayat-mayat tergantung, mengenakan sisa baju yang terkoyak. Mayat-mayat itu tampaknya dibiarkan mengering dalam waktu lama.
"Ketua!" seorang anak buah memanggil pemimpin mereka. Wajah tampak khawatir dan pucat.
"Ketua Sujinsha!" ia menyusul pemimpin yang berjalan paling depan.
"Sssh! Aku tahu kalian khawatir, tapi bukan hari ini untuk gentar ... ikuti saja aku!" kata Pemimpin Pasukan.
Dipanggil dengan sebutan Ketua Sujinsha. Ia memberikan isyarat jemari untuk menahan suara kepada semua anak buahnya. Dengan sangat berhati-hati, ia menghampiri beberapa pohon besar di hadapan mereka. Pada setiap pohon, tergantung sejumlah mayat kering. Ketua Sujinsha menghunus belati dari balik sabuknya, lalu melemparkan belati itu ke arah tali yang menjerat leher seonggok mayat. Mayat itu pun terjatuh dan rapuh di tanah. Kemudian Ketua Sujinsha bergegas memeriksa mayat itu.