Jawata Kingdom Season 1

JWT Kingdom
Chapter #6

05. Tak Kasat Mata

Selarut ini, Taja tidak dapat terlelap. Beberapa kali tergugah dan berganti posisi tidur, namun pikirannya terhanyut sesuatu yang lain. Akhirnya, ia termangu sendirian di pembaringan.

Bayangan sesosok muncul lagi. Kerap kali dan semakin sering menghantui Taja dalam mimpi. Walaupun sekejap saja tetapi jelas sesosok itu memanggil namanya.

Tidak terhitung mimpi itu berulang. Semenjak Taja mengenal dunia sampai sekarang, semakin jelas mimpi itu berasal dari sesosok dirinya yang lain. Di suatu tempat entah di mana.

Taja beranjak dari pembaringan. Suasana sunyi senyap. Malam larut, semua orang tertidur pulas. Bangsal pengobatan tidak dijaga ketat. Diam-diam Taja meninggalkan tempat itu.

Langit tampak cerah. Purnama hampir penuh menghiasi malam. Tampak bangunan Tanapura yang tenang. Taja terpikir untuk mendatangi Istana Kitab. Ia berjalan cepat-cepat sembari melihat sekeliling kalau-kalau ada penjaga yang patroli. Situasi sepi mendukung dia menunaikan keinginannya. Sebuah ambang pintu terbuka hanya dijaga satu orang penjaga Istana Kitab.

Taja menunjukkan lencana khusus bertanda tulisan Pengunjung tanpa batas waktu. Beruntung ia memiliki hak istimewa ini.

“Tertib dan jangan membuat apapun selain belajar,” penjaga itu mengingatkan. Taja mengangguk. Sebentar kemudian, ia mematung di satu sudut ruangan membaca. Sunyi sepi, tak terlihat siapapun yang datang ke Istana Kitab selarut itu. Hanya Taja. Tersadar, ia tidak tahu apa tujuannya datang.

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Taja.

“Tidak bisa tidur?”

Seseorang menyapa. Kemunculannya secara tiba-tiba berada di samping Taja. Terkesiap setelah menoleh, namun Taja bernafas lega setelah tahu siapa orang itu. Rupanya seorang pemuda yang tidak asing lagi olehnya.

“Kamu tadi siang di Istana Pusaka. Aku melihatmu. Kenapa kamu muncul dan menghilang secara tiba-tiba?” tanya Taja, pemuda itu tak langsung menjawab. Seuntai senyumnya sembari berbalik, membuat Taja penasaran dan mengikutinya.

Pemuda itu menuju lesehan yang terdapat satu meja dengan tatanan kitab-kitab lontar. Berhadapan dengan meja, pemuda itu duduk bersila. Kemudian ia membuka gulungan kitab lontar di tangannya. Taja ikut duduk, berhadapan dengan pemuda itu. Suasana senyap. Bahkan nafas pemuda itu tidak terdengar sama sekali.

“Kenapa?” pemuda itu balik bertanya dengan suara datar.

Taja menyadari sebuah lencana terpasang di kalung pemuda itu. Lencana dengan simbol ukiran huruf ‘Ra’. Cukup jelas terlihat di bawah cahaya kandil ruangan.

“Ya Tuhan, mungkinkah kamu ...?” terkesiap. Taja tak melanjutkan kalimatnya. Sepintas teringat rumor sewaktu Ketua Sujinsha menemukan lencana praja dengan simbol ‘Ra’.

“Hantu praja!" Taja terkesiap lagi, kelopak matanya terbuka lebar.

"Tak Kasat Mata!” Taja larut dalam kaget. Sementara pemuda itu menatap serius kitab yang terpampang di meja. Wajah pemuda itu jelas tanpa ekspresi sama sekali.

“Benar. Itu bukan rumor. Akulah yang dianggap sebagai Tak Kasat Mata,” lanjut pemuda itu, sedikit tersenyum, menatap datar pada Taja.

Pemuda itu sebaya Taja. Ia membuka sekotak alat berisi dadu-dadu dengan ukiran bermacam-macam aksara, lalu menyusun dadu-dadu itu sehingga membentuk satu deret kalimat Ra-dhit-ta-ma.

"Ini namaku. Radhittama," kata pemuda itu menunjukkan aksara yang tersusun dari sederet dadu. Taja terbelalak, membaca sebuah nama yang tertera.

"Radhittama?!"

“Jadi, kamu selama ini ...?!” Taja mendoyongkan muka, mendekat ke arah wajah pemuda itu, "Pencuri ...?" cepat-cepat ia menahan bicara.

“Aku tidak mencuri makanan. Aku warga di sini. Benar aku seorang praja. Setidaknya begitulah aturan untuk warga Tanapura seusia kita," pemuda yang mengaku dirinya dengan nama Radhittama, hanya menanggapi ringan. Tapi Taja makin keheranan. Sama sekali belum memahami sejatinya pemuda itu.

“Tapi ... kenapa kamu tidak terlihat orang lain? Kenapa aku bisa melihatmu?” Taja bingung bercampur heran. Sesekali menyeka kedua mata sampai terbelalak sekalipun, pemuda itu tetap tampak di hadapannya.

“Aku bukan hantu. Melainkan aku hanya sukma,” pemuda itu melihat ekspresi Taja penuh tanya.

“Aku juga tidak mengerti kenapa hanya kamu yang bisa melihatku," kata pemuda itu.

“Aku heran, indra batinku mengatakan bahwa ... kamu berbeda dari orang kebanyakan," lanjutnya.

"Manusia biasa memiliki tujuh bagian sukma. Tetapi kamu memiliki sembilan bagian sukma. Mungkinkah itu yang menjadi alasan kenapa kamu bisa melihatku dengan leluasa,” lanjut pemuda itu, mengutamakan pemikirannya. Taja tidak paham tentang apa yang dibicarakan pemuda itu tentang sukma.

"Lain waktu, aku akan membahas perihal sukma," lanjut pemuda itu, melihat ekspresi Taja yang bengong.

“Aku boleh memanggilmu Radhit saja?” Taja tampa segan.

“Silakan,” pemuda itu hanya tersenyum di ujung bibir.

“Ini pertama kali sejak aku di sini, dipanggil dengan nama lagi, seseorang memanggilku dengan namaku,” balas Radhit.

Lihat selengkapnya