Taja celingukan sepanjang jalan mengikuti Radhit. Berbeda dengan Radhit, berjalan santai, lurus, tanpa suara langkah sedikitpun.
'Oh, iya. Bukankah dia hanya sukma. Seperti udara, tentu langkahnya tanpa suara,' pikir Taja, melangkah penuh hati-hati sampai berjinjit tatkala melewati para penjaga pintu masuk dan keluar bangunan Istana Kitab. Aneh, para penjaga itu seperti dalam keadaan tidak waspada. Bahkan mereka seperti tidur berdiri.
"Mantera Sirep berlaku beberapa saat. Kita harus bergegas sebelum mereka tersadar!" bisik Radhit tegas. Kedua lengannya bersedekap di depan dada. Begitulah cara dia berjalan dengan tegap.
"Mantera Sirep masal milikku dapat berupa alunan seruling," jelas Radhit singkat.
"Jadi kamu yang membuat mereka tertidur?" gumam Taja setelah tahu itu akibat ulah Radhit. Sempat terpikir, andai dia menguasai Mantera Sirep.
Beberapa saat, mereka sampai di Istana Pusaka, kemudian masuk tanpa kesulitan. Suasana malam yang lenggang memudahkan mereka.
Satu bagian ruangan Istana Pusaka, sebuah meja besar dengan tatanan berbagai pusaka. Satu di antaranya paling istimewa, terpasang sebuah pusaka berselimut kain putih di antara dua penopang.
"Itu dia," kata Radhit menatap pusaka terbungkus kain itu tidak lain Pasvaati.
"Apa yang harus 'kulakukan?" Taja tidak yakin usahanya akan berhasil. Radhit sebentar meliriknya. Melihat ekspresi Taja kebingungan dan tampak berpikir keras.
"Bukalah kain pembungkusnya!" Radhit mulai memberi aba-aba. Taja pun mengikutinya.
Sebuah senjata pusaka dari logam putih. Sedikit bercahaya di dalam ruangan yang agak remang-remang. Cahaya Pasvaati menyilaukan kedua mata. Taja merasa agak silau sebentar. Di saat malam, ternyata Pasvaati lebih berpendar cahayanya.
Taja mengamati dengan seksama pusaka Pasvaati yang cemerlang.
"Apa sesuatu yang sangat 'kauinginkan di dunia ini?" Radhit bertanya. Sementara Taja hanya menatap pada Pasvaati di depan matanya.
"Tidak ada. Aku merasa ... hampir tidak memiliki keinginan apapun," ujar Taja lirih. Sementara perhatiannya tercuri oleh Pasvaati.
"Tapi, kamu punya tujuan, bukan?" tanya Radhit lagi.
"Tentu," jawab Taja singkat.
"Cobalah dengarkan dia," Radhit memberi aba-aba lagi.
"Siapa yang harus 'kudengar?" Tanya balik bertanya tanpa menoleh.
"Pasvaati," jawab Radhit.
"Dia sedang berbicara denganmu, apa kamu mendengarnya?" tanya Radhit.
Taja terdiam. Semakin mengamati dan memasang pendengarannya lebih seksama.
"Dengarkan dengan batinmu, bukan dengan telinga," lanjut Radhit.