Taja ditarik paksa. Lantaran panik, ia menurut saja, mengikuti Putri Alingga meninggalkan Istana Pusaka, mulai ramai didatangi banyak penjaga dari mana-mana. Dari kejauhan terdengar kentongan warga dan gong istana bertalu-talu tanda waspada.
Taja merasakan kedua tangannya gemetaran sampai Putri Alingga merasakannya juga. Digenggamnya tangan Taja basah berkeringat. Nafas berkejaran. Masih terasa bagaimana Pasvaati di genggamannya. Itu yang membuat Taja lemas, takut, sekaligus berdebar. Ditambah situasi yang mengancam, menambah panik.
"Ini arah kemana?" tanya Taja agak ketakutan. Keringat membasahi leher dan pipinya. Ia mengikuti Putri Alingga. Mereka berdua mengendap-endap di antara taman, sampai tiba di area banyak pancuran air.
"Pemandian wanita," jawab Putri Alingga.
"Apa?!" Taja tersentak. Tidak disangka putri membawanya ke tempat itu.
"Sssh ... jangan berisik! Tidak ada jalan lain. Ini satu-satunya jalur keluar menuju belakang istana," balas Putri Alingga sambil mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.
"Tidak ada siapapun di area pemandian pada malam selarut ini," tambah Putri Alingga. Taja bahkan lupa sekarang pukul berapa.
"Ini jalan paling aman," lanjut Putri Alingga. Kemudian mereka mengendap-endap di antara bilik pancuran.
"Ayo, cepat! Sebelah sini!" kata Putri Alingga, melambai pada Taja.
Satu pintu lorong di ujung tatanan pancuran yang berjejer. Mereka melewati pintu itu dan menuruni anak tangga, lalu menelusuri lorong. Putri Alingga dan Taja masing-masing mengambil obor yang terpasang di dinding.
"Ujung lorong menuju jalur sungai, mengarah ke air terjun," kata Putri Alingga. Mereka berdua agak terengah-engah. Namun lega rasanya, terhindar dari situasi berbahaya.
"Apa yang memaksamu masuk ke Istana Pusaka? Kamu bisa mendapatkan masalah serius!" Putri Alingga, menoleh sebentar pada Taja dengan tatapan tegang.
"Aku ...," Taja tidak melanjutkan kalimatnya, bingung menjelaskan.
Sampai akhirnya mereka berdua berhenti di ujung lorong. Terasa udara bebas dan lebih dingin. Terdengar suara deras air sungai di depan sana.
"Ayo kemari!" ajak Putri Alingga.
Begitu keluar dari lorong, alam bebas menyambut. Sekeliling tampak tebing yang rimbun di kanan kiri. Gemercik arus air dari berbagai arah.
"Ini kawasan air terjun belakang Istana?!" tersadar Taja, melihat sekitar alam yang menawan di bawah bulan hampir penuh. Malam sunyi sepi namun terlihat indah dan sejuk. Sangat terasa hawa sungai dan air yang berlimpah.
"Di sini aman. Tidak ada penjaga," kata Putri Alingga, sambil mengamati sekeliling, kalau-kalau ada orang yang melihat mereka.
"Lihat! Banyak anak air terjun di sekitar sini. Di sana, pusat air terjun paling besar dan jalur menuju hutan," kata Putri Alingga menjelaskan. Menunjuk ke depan, satu arah sepanjang aliran sungai yang tertutup kabut. Mereka menapaki jalur aliran sungai bebatuan terendam air sampai batas mata kaki.
"Saat musim hujan, bisa setinggi lutut," kata Putri Alingga. Sebentar mereka berhenti melangkah. Tersadar keduanya saling menggenggam tangan satu sama lain. Tiba-tiba Taja canggung, segera melepas genggaman tangan Putri Alingga.
"Tanganmu berkeringat," kata Putri Alingga.
"Kamu juga," balas Taja.
"Ayo lanjut jalan ...," kata putri Alingga, mengalihkan rasa kikuk.
Akhirnya mereka keluar dari tepian sungai lalu menuju jalur setapak yang mengarah ke atas tebing di antara air terjun. Sangat berhati-hati melangkah, melewati bebatuan yang licin. Berbekal sebatang obor di tangah masing-masing. Cahaya rembulan menerangi malam larut bersama mereka menelusuri jalur sisi tebing, menuju pusat air terjun.