Je t'aime Papa

Adlet Almazov
Chapter #3

Ayah Dan Kenangan

Malam ini, aku duduk sambil terus memainkan game yang aku rampas dari pecundang di sekolah. Anak-anak orang kaya, mereka bahkan bisa mengusir rasa bosan dengan memainkan permainan murahan semacam ini. Aku tidak beranjak, bahkan hampir dua jam aku duduk di kursi tua ini.

Pria tua cacat yang aku panggil dengan sebutan “Ayah” melewatiku dengan wajah kusut tanpa ekspresi miliknya. Aku bisa tahu bahwa dia tidak mempedulikanku saat ini. Dia hanya lewat dengan terpincang-pincang sambil membawa cangkir besar kesayangannya untuk mengambil air minum di termos. Tanpa teguran, seolah kami tidak saling mengenal satu sama lain dan hatiku memang berharap, tidak pernah mengenalnya.

Selama beberapa detik, ia terpaku menunggu cangkirnya penuh oleh air panas yang keluar dari termos. Ia tidak bersuara sama sekali, hanya suara batuk yang sangat berat sesekali terdengar dan suara batuknya itu, benar-benar terdengar mengerikan. Seperti akan menghancurkan tenggorokannya, setiap kali dia terbatuk.

Setelah cangkirnya penuh, pria tua itu kembali melewatiku, entah mengapa, diamnya itu membuatku kesal. Aku lebih suka dia memarahiku sehingga aku bisa melawannya untuk mengungkapkan kekesalanku padanya. Namun, kali ini dia diam. Aku berpikir untuk sedikit menjahilinya, sebuah lelucon yang kupikir akan lucu jika kulakukan itu padanya.

Braakkk…

Pria tua itu terjatuh, “Aku berhasil.” Batinku.

Aku menjulurkan kakiku hingga membuatnya terjatuh dan langsung tersungkur. Air yang ia bawa tadi, tumpah membasahi tubuhnya serta lantai. Mendengar suara jatuh, emak, Ani dan Siti langsung berlari ke dapur, tempat aku dan pria tua bodoh yang sedang terjatuh.

“Aduh-” ia meringis kesakitan sambil memegang pinggangnya, melihatnya seperti itu membuatku tertawa geli tanpa berpikir untuk menolongnya.

“Astaghfirullah, bapak kenapa?” Emak yang terkejut langsung membantu pria tua yang tidak berdaya itu dan juga Siti yang membantu mengangkat tubuhnya. Sementara Ani, seperti biasa, dia akan langsung melotot padaku sambil menyerangku dengan kata-kata kasarnya.

“Dasar kurang ajar! Kau ngapain? Bukannya membantu, malah ngeliatin!” Teriaknya. Tangannya hampir saja mendarat kewajahku, beruntung aku langsung menepisnya.

“Ngapain kutolong? Dia jatuh sendiri kok!” 

“Ya ampun, apa nggak bisa sekali saja kau menghargai orang tuamu yang sudah bersusah payah membesarkanmu? Kenapa kau nggak bisa berterima kasih sedikit pun?" Ucapnya dengan teriakan-teriakan yang bisa didengar semua orang di daerah ini.

“Apa kau bilang? Kau pikir kau ini bisa apa? Berani sekali kau mengatakan hal seperti itu padaku. Kau bisa tanya pada orang tua itu, apa yang sudah dia berikan untuk keluarganya selain kemiskinan?” Teriakku membalas.

“Ani sudahlah, ayah baik-baik saja,” ucap ibu memohon agar kami tidak melanjutkan pertengkaran.

“Suatu saat nanti jika kau menjadi orang tua, kau akan merasakan sendiri bagaimana susahnya membesarkan seorang anak dan kau juga akan merasakan sakitnya jika kau tidak dihargai!"

“Teruslah berbicara sesukamu, lagi pula aku tidak akan punya anak, kau dengar itu? Aku tidak akan punya anak sampai kapan pun!” 

“Kau akan menyesal jika ayah dan ibu sudah tidak ada, kau akan menyesal. Ini terakhir kali aku mengatakan ini padamu!” Ucapnya sembari membantu ibu dan Siti memapah orang tua itu ke kamarnya.

Aku merasa seperti orang asing di sini, memang benar akulah penjahatnya, tapi mengapa aku tidak terima dengan semua keadaanku saat ini? Semua ini sungguh membuatku muak. Aku berharap bisa segera pergi dari tempat ini jauh dari mereka, memulai hidupku yang baru dan menjalaninya sesukaku. Melakukan apa pun yang aku sukai, dan yang paling penting, hidup senang dengan menjadi orang kaya.

                      ***

Siang ini, aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan tidur di balkon atap sekolah, menghindari mata pelajaran yang tidak aku sukai.

Rasanya benar-benar menyenangkan bisa terus bersantai seperti ini, menandang langit sambil merasakan sejuknya angin yang berhembus. Aku tertidur lelap dan membayangkan hal-hal menyenangkan menjadi orang kaya dan bisa membeli apa pun yang aku inginkan.

“Ayah, kita mau pergi kemana?” Tanyaku sambil memeluk punggung ayahku yang tengah mengayuh sepeda miliknya. Hari ini, ayah mengajakku ke suatu tempat, ayah bilang bahwa dia ingin memberiku kejutan.

“Kamu tunggu dan liat saja, ayah akan memberikanmu kejutan hebat," jawabnya sambil terus memandang lurus ke jalan.

“Benarkah?" Ucapku penuh semangat, aku benar-benar tidak sabar melihat kejutan apa yang ayahku berikan. Rasanya, ayah benar-benar lucu, karena setiap kali dia ingin memberi kejutan, dia pasti akan mengatakannya langsung. Tapi, aku benar-benar suka dengan ayahku yang seperti ini.

Sekitar 15 menit mengayuh sepeda menyusuri jalan, akhirnya kami berhenti tepat di depan pusat pertokoan yang menjual berbagai jenis ikan hias dan peralatan memancing.

Aku turun dari boncengan, sementara ayah memarkirkan sepeda, lalu menguncinya. Aku tidak bisa berhenti memandang takjub melihat akuarium besar berisi ikan-ikan hias yang cantik terpajang di depan toko.

Lihat selengkapnya