Je t'aime Papa

Adlet Almazov
Chapter #10

Perjalanan Baru, Dimulai

“Hei…” seru wanita tua itu mencoba memanggilku, aku langsung menoleh pada'nya dengan perasaan panik.

Aku terdiam kehilangan kata-kata, rasanya aku malu saat wanita tua itu melihatku mencaci maki seorang bayi yang tidak mengerti apa-apa. Aku menelan ludah, aku langsung menggendong anak perempuan itu yang sebelumnya aku letakkan diatas batu. Wanita tua itu berjalan pelan kearahku, ia tidak marah atau menunjukkan wajah tidak suka. Ia malah mengambil anak perempuan ini dari tanganku dan menggendongnya dengan lembut sembari menimangnya.

Wanita tua itu berguman sendiri sambil tersenyum kepada anak perempuan itu. Anak itu langsung berhenti menangis. Setelah anak itu mulai tenang, Nenek mengembalikan anak itu padaku dan memintaku menggendongnya, ia mencoba mengajakku bicara dalam bahasa Prancis, namun aku tidak mengerti sama sekali yang ia katakan. Wanita tua itu tersenyum kecil seolah memahami bahwa kami tidak bisa saling mengerti bahasa satu sama lain.

Wanita itu memberiku isyarat untuk mengikutinya, ia mendorong gerobak berisi anggur yang tadi ia bawa berjalan melewati kebun anggur yang sangat luas. Aku mengikutinya tanpa berkomentar, entah seberapa jauh aku akan mengikutinya. Aku memandang punggungnya yang sedikit membungkuk dan mencoba menebak berapa kira-kira usia wanita tua ini, mungkin sekitar 60 tahun melihat rambutnya yang putih, meski ditutupi dengan topi kain. Entah mengapa aku teringat Ibu, seolah aku sedang melihat Ibuku yang berjalan di depanku saat ini.

Apa aku merindukan'nya ? mungkin, ini untuk pertama kalinya aku merindukan Ibu dalam hidupku. Aku berharap, ia ada di sini bersamaku. Kami berjalan selama hampir 20 menit hingga kami sampai di daerah perkampungan penduduk di desa ini. Rumah-rumah di desa ini seperti bangunan tua sederhana, dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan dan bunga-bunga kecil berwarna-warni. Ada hewan-hewan ternak yang berkeliaran di padang rumput, mereka bebas tanpa harus terus diawasi pemiliknya.

Semilir angin berhembus menerbangkan daun-daun kering, tempat ini terasa sangat damai, tidak ada keributan yang terdengar, hanya suara tawa anak-anak kecil, suara-suara hewan ternak dan kicauan burung. Aku sedikit menikmati suasana tempat ini, membuat hatiku tenang. Wanita tua itu berhenti di halaman sebuah rumah yang cukup besar, ia meletakkan gerobaknya di sebuah gudang kecil. Aku memperhatikannya, aku tidak berpikir untuk masuk ke dalam rumah itu bersamanya.

Wanita itu memanggilku seraya melambaikan tangan, ia tersenyum lembut persis seperti senyum Ibuku. Dari dalam rumah, keluar seorang pria tua yang berjalan pelan menyambut wanita tua itu, mungkin pria tua itu suaminya, pikirku. Aku melangkah ragu menghampiri mereka, aku merasa tidak enak. Namun, aku tidak punya pilihan lain saat ini selain meminta bantuan dari mereka.

Aku dihadapan mereka sekarang, mereka menyambutku dengan senyuman hangat, bahkan pria tua itu menggendong anak kecil yang aku bawa dan mencoba membuatnya tertawa dengan guyonan khas orang tua. Benar, anak perempuan itu tertawa disela sisa-sisa air matanya yang terus mengalir sejak aku sampai di tempat ini. Mereka memintaku masuk ke dalam rumah bersama mereka. 

Tidak ada percakapan diantara kami sama sekali, selain senyuman dan bahasa isyarat yang kira-kira bisa kami pahami satu sama lain. Aku duduk di sebuah kursi tua sambil memandangi sekeliling rumah. Tempat ini di penuhi barang-barang antik, kursi, lukisan, jam dinding dan patung-patung kecil. Ada sebuah foto besar yang menarik perhatianku, foto keluarga dengan Ayah, Ibu, dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Aku mencoba menebak bahwa orang-orang di foto itu adalah pria dan wanita tua ini serta anak-anak mereka, mungkin. Ya, persis seperti aku dan keluargaku. Seingatku, kami juga pernah berfoto keluarga seperti itu satu kali, waktu usiaku 10 tahun. Tepat, sebelum kecelakaan itu terjadi.

“Quel est votre nom ?” tanya pria tua itu padaku dalam bahasa Prancis, aku tidak tahu apa yang ia bicarakan padaku.

“Ah…” aku menggaruk-garuk kepalaku mencoba menerka apa yang barusan ia katakan.

“Hahaha…” pria tua itu tertawa keras sambil terbatuk-batuk, ini mungkin sungguh lucu, menampung orang asing yang bahkan tidak bisa kau ajak bicara sama sekali.

Aku tertawa hambar mencoba mengikutinya saja, aku harap dengan begitu, mereka bisa menolongku kembali ke Kota Strasbourg. Aku memandangi jam tua di ujung lorong rumah ini, jam itu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan aku sudah terlalu terlambat untuk kembali ke tempat tadi. Pria yang menungguku itu pasti sudah menghubungi Pak Kimura dan mengatakan bahwa aku tidak membawa anak yang ia minta, aku tidak bisa membayangkan masalah apa yang aku dapatkan jika aku kembali sekarang, mereka bisa membunuhku.

Lihat selengkapnya