Je t'aime Papa

Adlet Almazov
Chapter #13

Perasaan Seorang Ayah

Siang ini cuaca terasa hangat, udara musim semi mulai terasa. Setelah beberapa hari kami habiskan dengan membersihkan sisa salju di halaman dan kandang hewan ternak. Hari ini, kami sudah bisa mulai menanam bibit anggur yang baru. Kakek Franklin bilang, bahwa saat-saat seperti ini adalah saat-saat terberat yang di hadapi petani setiap tahun karena kami harus membersihkan sisa salju di kebun, menggali tanah dan menanam bibit-bibit baru.

Aku sudah bisa membayangkan akan seperti apa jadinya, namun aku mencoba untuk tidak mengeluh, sudah lima bulan aku tinggal di desa ini dan menumpang di rumah keluarga Franklin, bahkan bahasa Prancisku semakin hari semakin baik, setidaknya begitu yang di katakan Paman Duncan dan teman-teman di perkebunan. Aku mulai merasa nyaman di tempat ini, meski tidak bisa kupungkiri bahwa aku sangat ingin pulang.

“Sano ?” Nenek Franklin memanggilku, aku merasa senang karena sudah bisa saling berbicara dengan Kakek dan Nenek, rasanya ini jauh lebih baik dari pada saat pertama kali aku datang ke desa ini.

“Iya, Nek ?” aku langsung bergegas menghampirinya yang setiap hari sibuk mengurus Ai, Nenek sangat sayang pada anak itu.

“Sano, hari ini Kakek dan Nenek akan pergi ke Strasbourg menjenguk Adik Kakek yang sedang di rawat di rumah sakit. Nenek tidak bisa membawa Ai ikut karena sepertinya, dia sedikit demam. Bagaimana ? apa kau bisa menjaga rumah ?” tanya Nenek. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak tega meninggalkan Ai, namun ia juga tidak bisa membawanya ikut karena Ai pasti akan menangis.

“Baiklah, saya akan di rumah bersama Ai” jawabku.

“Apa tidak apa-apa ? kami akan pergi selama tiga hari, siapa yang akan menjaganya saat kau bekerja ?”

“Nenek jangan khawatir, aku akan mengurus semuanya"

“Baiklah, kami akan pergi sore ini.” Ucapnya sambil membawa Ai ke kamar. Aku berpikir sejenak, susah juga jika aku harus mengurus anak itu sendirian karena selama ini, mereka selalu membantuku mengurus dan menjaganya. Selain itu, aku juga harus memberi makan hewan ternak dan pergi ke kebun, namun aku tidak bisa menolak.

Pukul 4 sore, Kakek dan Nenek Franklin berangkat ke Strasbourg, mereka akan pergi selama tiga hari. Sejak mereka pergi, anak ini terus menangis, ia tidak terbiasa di tinggalkan, apalagi bersamaku. Hubungan kami sama sekali tidak berjalan lancar, aku rasa dia juga berpikir demikian.

“Hari ini dan tiga hari kedepan, kita hanya tinggal berdua di rumah ini, jadi aku tidak mau kau membuat masalah, mengerti ?” ucapku padanya yang tengah telungkup di atas karpet sambil memainkan boneka dan mainan yang diberi orang-orang di desa ini, aku berbicara padanya seakan dia mengerti apa yang aku katakan.

Ai bermain sendiri, wajahnya terlihat sangat menyedihkan. Dia memandangiku dengan tatapan yang aneh, seolah dia merasa bahwa hampir setiap hari aku mengabaikannya dan meninggalkannya di rumah bersama Nenek Franklin. Aku mencoba menegaskan padanya dari awal, bahwa kami sama sekali tidak ada hubungan apa-apa, kami bukan orang tua dan anak.

Aku menonton TV sambil bersantai sejenak, merenggangkan otot-otot tubuhku yang sakit karena setiap hari harus mengerjakan pekerjaan yang berat. Anak ini merangkak ke arahku, dia memegang benda dari plastik dan memukulnya ke wajahku.

“Akh…sakit sekali, anak bodoh ! apa yang kau lakukan, hah ?” ucapku dengan kasar, aku bahkan hampir memukulnya. “Sialan, ini benar-benar sakit sekali !” aku benar-benar kesal padanya.

Lihat selengkapnya