Rawa Mangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur, 12 Mei 1998
Aku menjalani jalan setapak yang biasa aku lewati jika pulang ke rumah. Entah mengapa hari ini hatiku lebih kesal dari biasanya, terutama saat melihat cecenguk menjijikkan yang terus-terusan menagih uang yang aku janjikan dan yang lebih sialnya lagi, aku tidak punya uang satu sen pun saat ini.
“Oh Tuhan mengapa aku begitu miskin?” Teriakku di tengah jalan seperti orang gila. Beberapa orang anak kecil terkejut melihatku, hingga membuat mereka menghentikan langkah dan memandangiku seolah-olah aku ini badut menyeramkan yang ada di film horor.
“Hei kalian lihat apa, hah?” Bentakku pada tiga orang anak kecil di depanku. Aku benar-benar tidak suka anak kecil.
“Kenapa kamu menggerutu seperti itu?”
Aku langsung menoleh saat mendengar suara perempuan yang tidak asing di telingaku, membuatku langsung memalingkan wajah bodohku.
“Karina?” Aku memandangnya terkejut, takut jika dia melihat tingkahku. Anak kecil tadi langsung lari saat mereka pikir ada kesempatan.
“Kenapa kamu membentak mereka?” Tanya Kurumi. Dia melangkah mendekatiku seperti biasa, dengan wajahnya yang sangat cantik itu.
“Sedang apa lo di sini?” Tanyaku ketus.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Arya. Kenapa kau membentak anak-anak tadi?”
"Gue nggak suka anak-anak!” Jawabku lantang dan aku nggak peduli apakah dia suka mendengarnya atau tidak.
“Bagaimana kalau nanti kamu punya anak dengan sikap seperti itu? Kamu bisa-”
“Nggak akan!”
“Nggak akan? Apa maksudmu?”
“Jangan menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu! Gue udah jawab pertanyaan lo. Sekarang giliran lo yang jawab pertanyaan gue. Sedang apa lo di sini?”
“Maaf jika kamu nggak suka mendengarnya. Aku mengikutimu, Arya!”
“Apa? Lo bilang apa?”
“Maaf, tapi aku ingin tahu rumah kamu. Jadi-”
“Lo udah gila ya?”
“Bu-bukan begitu, a-aku aku-” Jawabnya terbata-bata. Dia kehilangan kata-kata untuk menjelaskan. Namun, aku benar-benar tidak butuh penjelasan darinya.
“Pulang sana! Jangan pernah berpikir untuk mengikuti gue lagi!” Pintaku dengan usaha keras untuk menjaga kesabaranku saat ini. Andai dia tahu bahwa aku benar-benar kesal padanya.
“Kenapa? Apa yang salah? Bukankah aku ini pacarmu, Arya? Jadi, apa salahnya jika aku ingin tahu di mana rumahmu?” Tanya Karina dengan tingkah polosnya yang mulai membuatku muak. Dia terlihat seperti perempuan bodoh dan menyedihkan. Satu-satunya alasan aku berpacaran dengannya karena dia sangat cantik dan kaya.
“Lo nggak akan mau melihat rumah gue!”
“Kenapa? Kamu takut kalau aku tahu di mana rumahmu, itu akan membuatku benci dan menjauhi kamu?”
“Ya!”
"Arya, sebenarnya teman-teman sudah sering menceritakan tentang dirimu dan juga keluargamu. Tapi aku benar-benar tidak peduli apa yang mereka katakan. Karena selama kamu mencintaiku, apapun keadaanmu, itu nggak masalah untukku." Ucapnya dengan penuh kesungguhan. “Ya Tuhan, dia ini benar-benar polos. ” Batinku.
“Bagaimana? Kamu percaya padakukan?” Dia bertanya seolah aku aku bisa mempercayainya begitu saja.