Je taime Papa

Adlet Almazov
Chapter #11

Aime

Bagaimana rasanya menjadi orang tua ? bagaimana caranya aku harus membesarkan dan merawat seorang anak yang bahkan bukan anakku ? Aku mencoba menemukan jawaban dari semua pertanyaanku. Aku tidak bisa dan mungkin, aku tidak akan pernah bisa menjadi orang tua. Dulu, aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku tidak ingin punya anak, aku membenci mereka. Cengeng, lemah, nakal dan sangat merepotkan, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan rasa tidak sukaku pada mereka.

Tapi, kenapa sekarang aku mengalami ini semua ? disaat aku tidak siap dengan keadaanku, aku tidak tahu bagaimana jika anak ini terus tumbuh sampai ia bisa memanggilku "Ayah." Sungguh, aku tidak ingin menjadi Ayah siapapun, aku terus gelisah dan merasa takut dengan pikiranku sendiri.

Sudah satu minggu aku tinggal di rumah Kakek dan Nenek Franklin. Sejauh ini, semuanya baik-baik saja. Mereka sangat baik padaku dan juga anak itu. Mereka sudah mengganggap kami seperti keluarga mereka sendiri. Mungkin, selama ini mereka kesepian karena anak-anak mereka tinggal jauh di Kota Paris dan jarang sekali pulang ke rumah karena sudah memiliki keluarga masing-masing.

“Sano…” seru Paman Duncan memanggilku, ia mendorong gerobak bersisi anggur-anggur segar yang ia bawa dari perkebunan. Di belakangnya, sudah ada Kakek Franklin yang juga mendorong gerobak yang sama dengan'nya. Mereka adalah petani anggur dan bekerja di perkebunan seorang pengusaha perkebunan anggur terbesar di desa ini dan aku baru tahu bahwa desa ini bernama Mittelbergheum, sebuah desa kecil di kaki gunung St.Odile.

“Sano…ayo kemari !” seru'nya memanggilku sembari melambaikan tangan, aku langsung datang menghampiri mereka berdua.

“Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya karena aku takut kau tidak mengerti apa yang aku katakan. Tapi begini, apa kau mau ikut bersama kami ke kebun ?” tanya Paman Duncan sambil mendorong dan menarik gerobaknya seolah memberiku isyarat.

“Ke kebun anggur ?” tanyaku kembali, aku tidak ingin salah kali ini.

“Ya, ke kebun anggur. Pasti kau bosan di rumah terus menjaga anakmu ,jadi lebih baik ikut kami ke kebun !” ujarnya dengan wajah penuh semangat.

“Baiklah” jawabku. Nenek Franklin langsung memanggilku saat ia tahu aku akan pergi bersama Paman Duncan dan Kakek.

“Sano ?” seru Nenek sambil menunjukkan Ai dalam gendongan'nya, ia melambaikan tangan Ai. Anak itu memadangiku dengan sorot mata yang tidak bisa kupahami. Ayolah, aku tidak peduli dengannya. Bahkan memang lebih baik aku ikut mereka ke kebun dari pada terus bersama anak kecil itu.

“Ah… hahaha…” jawabku dengan tertawa yang dipaksakan, aku terpaksa membalas lambaian tangan kecil'nya yang digerakkan Nenek Franklin.

Setelah acara perpisahan bodoh ini, aku, Kakek Franklin dan Paman Duncan berjalan beriringan mendorong gerobak berisi anggur menuju perkebunan tempat mereka bekerja. Kakek Franklin dengan kesusahan mendorong gerobak yang cukup berat, aku merasa tidak tega padanya dan mencoba menggantikan'nya mendorong gerobak itu.

Lihat selengkapnya