Aku tidak akan pernah melupakan tangisan nenek saat beliau menyadari bahwa kakek telah pergi untuk selamanya, nenek yang biasanya selalu tersenyum manis, kini menangis dalam ketidakberdayaan.
Sebagai satu-satunya laki-laki yang tersisa di rumah ini, aku berusaha untuk tetap tegar dan menjadi tempat bersandar bagi Nenek Franklin selama masa berkabung. Namun anehnya, meski nenek sudah memberi kabar tentang kematian kakek kepada ketiga anaknya, tidak satupun dari mereka yang datang untuk mengantar kakek ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Nenek berduka tanpa anak-anaknya disisinya. Mereka selalu memberi alasan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dan berbagai macam alasan lain yang membuat mereka tidak bisa datang. Tapi ayolah, ayah mereka pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi, tidak bisakah mereka meluangkan sedikit waktu untuk mengucapkan perpisahan?
"Kakek sangat menyayangi Edward, Stephanie dan Vanessa. Saat masih muda, kakek bekerja sangat keras agar bisa memberikan yang terbaik untuk mereka. Meskipun terkadang dia bersikap dingin dan tegas, namun sejujurnya dia sangat mencintai mereka. Tidak semua anak mengerti sikap dan tindakan orangtua mereka dan sering berpikir bahwa mereka tak benar-benar dicintai. Hadi, seorang ibu dan ayah bisa merawat 10 orang anak, namun 10 orang anak sepertinya belum tentu bisa merawat ayah dan ibu mereka. Aku dan kakek tidak pernah meminta hadiah atau uang, kami tidak pernah mengharapkan itu dari mereka. Yang kami inginkan adalah sedikit saja waktu dan perhatian dari anak-anak yang telah kami rawat dan kami besarkan."
Aku terdiam tanpa kata saat kudengar curahan hati nenek tepat tujuh hari setelah kakek meninggal. Aku mendekap Aime yang sudah tertidur lelap dan aku berpikir bahwa nenek masih membutuhkanku untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Sebagai orang asing, aku merasa bahwa aku tidak memiliki hak apa-apa untuk memohon pada ketiga anak nenek agar mereka mau pulang untuk menemani nenek melewati masa berduka ini. Aku tidak mengenal mereka dan meskipun aku merasa sangat marah pada mereka, aku tahu bahwa aku tidak berhak untuk itu.
"Jika orangtuamu sudah tiada, kau pasti akan menyesal!"
Mendadak, aku teringat kalimat yang Ridwan ucapkan padaku di atap sekolah waktu itu saat dia berusaha membujukku pulang ke rumah untuk melihat keadaan ayahku. Aku memukulnya disaat dia berusaha untuk menyadarkanku yang egois ini, aku begitu menyesali apa yang sudah aku lakukan dan berharap suatu saat nanti aku memiliki kesempatan untuk meminta maaf padanya.
"Hadi, bisakah kau temani aku sampai aku tertidur?" Pinta nenek. Ia masih terlalu takut untuk tidur sendirian di kamarnya karena itu hanya akan membuatnya selalu mengingat kakek.
Aku mengangguk setuju, nenek berbaring dan mulai memejamkan matanya. Nenek selalu menggenggam tanganku seolah ia merasa takut jika aku pergi meninggalkannya sendirian.
"Hadi, tetaplah tinggal di sini! Jangan pergi ya? Aku sangat membutuhkanmu dan juga Ai."
"Aku berjanji aku tidak akan pergi, nenek tidak perlu khawatir!" Ucapku.
Kata-kataku terdengar sangat mulia seolah aku ini adalah orang baik, namun ada suara di dalam hatiku yang mengatakan bahwa aku masih membutuhkan nenek agar aku bisa bertahan lebih lama di tempat ini. Aku belum siap jika hidupku harus berakhir di penjara, aku belum siap untuk menunjukkan pada dunia tentang seberapa kejinya diriku ini.
Aku memanfaatkan perasaan kesepian Nenek Franklin yang telah ditinggal mati suaminya dan jauh dari ketiga putra putrinya untuk menyelamatkan diriku sendiri. Di rumahnya, aku bisa menjalani kehidupan yang lebih baik daripada aku harus berkeliaran di tempat asing ini tanpa memiliki apapun.
Meski aku sadar betapa kejamnya diriku ini, namun tampaknya orang-orang di desa ini tidak berpikir demikian. Mereka menganggapku sebagai pria baik berhati mulia yang pantas mendapatkan sanjungan dan penghargaan. Aku yang semula menikmati pandangan mereka tentangku, perlahan mulai merasa bersalah. Haruskah aku memberitahu mereka bahwa aku tak layak untuk itu?
***
Desa Mittelbergheim, Prancis
13 Juli 2000