Hari ini adalah hari ketiga di mana aku dan para petani di perkebunan anggur lainnya tidak bisa bekerja. Hujan turun dengan sangat deras bersama angin kencang yang mampu menumbangkan dua batang pohon yang terkenal sangat kuat dan kokoh.
Selain hujan, kami juga harus bersabar karena desa ini dalam keadaan mati listrik selama tiga jam dan kami harus bertahan dengan pencahayaan seadanya.
"Papa, Ai takut!" Sejak pagi, Aime terus merengek. Ia takut dengan badai dan ia juga takut dengan bayangan aneh yang muncul saat lilin dinyalakan.
"Ai, papa sedang sibuk! Jangan ganggu papa!" Aku yang sedang sibuk memperbaiki jendela yang nyaris lepas, menjadi kehilangan fokus karena Aime terus merengek dan menempel padaku.
"Papa, Ai takut-"
"Ai, jangan ganggu papa! Ayo, tidur di kamar nenek!" Nenek memintanya untuk ikut ke kamar dan segera tidur siang, alih-alih tetap berdiam di ruang tamu tanpa melakukan apapun.
"Sana pergi tidur di kamar nenek!" Ucapku. Aku ingin dia mengerti bahwa ada saat-saat di mana dia harus belajar untuk bersabar dan mendengarkan perintah orangtua daripada terus menerus keras kepala.
Tanpa perlawanan yang berarti seperti hari-hari sebelumnya, Aime memutuskan untuk menyerah dan pergi dengan neneknya untuk tidur di kamar. Tentu, setelah nenek berjanji akan memenuhi botol dot-nya dengan susu hangat.
Aku menghela nafas, aku lega karena akhirnya dia berhenti merengek dan menggangguku. Aku terlalu sibuk memperbaiki setiap sudut rumah ini yang mengalami banyak kerusakan serta kebocoran. Hujan badai di luar sana membuat keadaan rumah ini menjadi cukup memprihatikan. Meski sebenarnya rumah ini besar dan sangat luas, namun karena hanya dihuni dua orang lansia, rumah sebesar ini tentu tidak terawat dengan baik.
"Syukurlah, akhirnya bagian ini selesai juga. Aku capek sekali."
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari menyeduh secangkir teh hangat. Aku sangat menikmati waktu-waktu sendirian seperti ini dimana aku bisa beristirahat dengan tenang.
Braaakkk...
Tepat sebelum aku meneguk teh di cangkir, suara dentuman keras terdengar dan membuatku sangat terkejut. Suara dentuman itu terdengar dari arah kandang kuda milik Kakek Franklin.
Aku berlari dengan secepat kilat untuk melihat apa yang terjadi. Meski beberapa saat yang lalu aku sudah menduganya, namun aku masih tetap tak percaya bahwa dentuman itu berasal dari pohon besar yang tumbang dan menimpa kandang kuda.
Aku bisa mendengar keributan yang disebabkan teriakan kuda-kuda yang panik. Jantungku berdetak sangat cepat saat aku melihat salah satu kuda kesayangan milik Kakek Franklin mati tertimpa pohon.
"Oh tidak, apa yang terjadi?"
Di belakangku, Nenek Franklin sudah berdiri dengan wajah syok setelah menyaksikan bahwa kuda kesayangan mendiang suaminya mati. Nenek menangis histeris, bukan hanya kakek, nenek juga sangat menyayangi kuda berbulu coklat yang diberi nama Tobby itu. Tobby adalah kuda yang paling jinak dan paling mudah untuk ditunggangi.
"Nenek, aku benar-benar minta maaf!" Aku merasa bersalah karena terlambat menyadari bahwa pohon tua di halaman belakang rumah memiliki potensi besar untuk tumbang jika badai belum juga berhenti.
"Tidak, ini bukan kesalahanmu! Sudahlah, aku akan mencoba menghubungi petugas untuk mengangkut pohon itu. Temani Ai di kamar, aku rasa dia terbangun karena mendengar suara dentuman yang sangat keras."
"Baiklah, nenek."
Aku mengikuti apa yang nenek katakan, berjalan ke kamar nenek dan mendengar bagaimana Aime menangis histeris karena nenek tak lagi ada dekatnya saat ia terbangun.
"Papa datang, sayang! Jangan menangis ya?" Aku meraih tubuh mungilnya dan langsung menggendong Aime untuk menenangkannya yang terlihat sangat ketakutan.