Aku menatap matanya yang bundar, ia tersenyum padaku seolah ia sudah melupakan rasa sakitnya. Aku membalas senyumannya, aku tidak tahu mengapa wajahnya yang begitu murni dan tidak berdosa ini mengingatkanku pada seorang gadis yang kukenal dulu.
“Apa yang kau lihat, hum ?” tanyaku, ia tertawa mendengarku berbicara padanya. Meski ia tidak bisa menjawab pertanyaanku saat ini. Namun aku yakin, ia mengerti dan ia merasakan bahwa aku sudah mulai bisa menerima kehadirannya dalam hidupku.
“Besok kakek dan nenek pulang, kau sangat merindukan mereka, bukan ? jadi, bersabarlah sampai besok bersamaku !” ucapku sambil menggendongnya ke tempat tidur dan menarik selimut bulu lembut kesukaannya.
“Tidurlah, aku harus menutup pintu dulu !” ucapku sambil mulai melangkahkan kakiku meninggalkannya seorang diri di atas tempat tidur yang sudah aku batasi dengan bantal agar ia tidak terjatuh.
“Uhm…” ia bergumam pelan, langkahku terhenti saat aku merasakan Ai mencoba menyentuh tanganku.
Dengan pelan, aku menoleh padanya yang menatapku dengan mata bundarnya yang berkilau itu. Tersenyum, ia tersenyum manis padaku dengan mata berbinar. Aku pikir ia akan menangis karena tak mau aku tinggalkan.
“Uh…um…” gumamnya sambil mengangkat kedua kakinya.
“Apa ? apa yang kau inginkan ?” tanyaku. Aku menghampirinya, dadaku terasa sesak, tidak pernah aku rasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Perasaan hangat dan nyaman yang sangat tidak biasa saat, aku memandang wajahnya seperti ini.
“Baiklah, mau keluar sebentar ?” aku menggendongnya kembali dan membawanya keluar rumah. Ia tampak antusias dan berguman kegirangan.
Aku membawanya ke halaman rumah. Angin musim semi bertiup lembut membawa aroma bunga yang mengingatkanku pada rumah. Aku memandang ke atas langit, ribuan bintang berkelap-kelip melengkapi cahaya bulan.
Wajah ayah, wajah ibu, wajah Aki, wajah Sora dan wajah Kurumi menghiasi langit malam. Aku tidak tahu kenapa ada wajah mereka yang tersenyum memandangiku dari atas langit. Apa artinya ini ?
Tanpa kusadari, air mataku mengalir. Sekali lagi, rasa sesak yang tidak bisa kumengerti kembali menyerangku, rasanya sakit sekali.
“Uhm…” Ai menyentuh wajahku dengan tangan mungilnya. Mata kami bertemu, aku bisa melihat ketulusan dimatanya. Sebuah ketulusan yang pernah aku lihat dulu sekali, sebelum aku berada di tempat ini. Ketulusan yang dimiliki ayah dan juga ibu.
“Semua akan baik-baik saja, aku bersamamu" entah mengapa kalimat ini muncul dibenakku saat menatap matanya. “Ai, apakah itu yang ingin kau katakan padaku ?”
Ai tersenyum, entah sejak kapan ia bisa merasakan apa yang aku rasakan, tanpa harus aku katakan. Padahal selama berbulan-bulan kami di tempat ini, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak merawatnya dan lebih memilih bekerja dari pada harus mengurusnya sepanjang hari.
“Terima kasih karena sudah mempercayaiku” ucapku sambil mengecup dahinya, Ai membalasnya dengan pelukan manja.
Aku merasakan kehangatan ibu ada padanya atau perlindungan ayah yang dulu pernah aku rasakan. Ai baru berumur sembilan bulan, tapi mengapa akulah yang seperti seorang bocah yang membutuhkan perhatian.
“Maafkan Papa, Ai mau memaafkan Papa, bukan ?” tanyaku padanya. Aku tidak bisa menahan air mataku, sekarang aku hanya memilikinya.
Aku menangis selama beberapa menit, mengeluarkan semua beban didadaku selama berbulan-bulan. Aku mencoba menahannya agar semua orang di desa ini menaruh simpati padaku yang menjadi orang tua tunggal untuk anak sekecil ini. Aku hanya ingin bertahan di tempat ini. Aku ini, benar-benar kejam ya ?