Langit semakin gelap. Sore ini Reno belum pulang. Dia lembur agar proyeknya cepat selesai.
Saat sedang berdiskusi dengan seorang arsitek mengenai penumpukan material, indra Reno menangkap pergerakan yang salah. Buldoser yang tadi berada di atas mulai mundur terlalu cepat, terlalu dekat dengan area yang penuh pekerja.
"Rem blong! REM BLONG!" Suara teriakan panik para tukang bangunan memecah kebisingan.
Jantung Reno mencelos. Di jalur mundurnya buldoser, seorang pekerja muda yang baru seminggu bergabung, tersandung dan terjatuh. Wajahnya membeku ketakutan.
Tidak ada waktu untuk berpikir. Reno berlari. Ia mencapai pekerja muda itu, mencengkeram kerah bajunya, dan mendorongnya sekuat tenaga keluar dari jalur maut.
Reno sempat mendengar pekerja itu berteriak kaget. Tapi kemudian, waktu seakan berhenti. Tubuhnya merasakan getaran mesin raksasa yang tidak bisa ia hindari. Suara besi beradu dengan tulang melenyapkan semua suara lain. Pandangannya kosong, langit di atasnya seolah runtuh, dan ia hanya sempat bergumam, "Maaf, Dek..."
Malam, 20.30
Maya duduk di meja makan. Dia menunggu kakaknya pulang sembari mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tertera nomor yang tidak dikenal. Maya terbiasa mengangkat nomor tidak dikenal, karena Maya berpikir itu bisa saja nomor kliennya. Walaupun mendapat telepon di tengah malam perihal pekerjaan itu sangat menyebalkan.
"Halo, selamat malam," sapa Maya, mencoba terdengar profesional.
"Maya? Ini gue... Bima. Temen Reno." Suara di ujung sana parau dan bergetar, tanpa basa-basi formal. "Reno...kecelakaan, May." suara Bima di ujung telepon membuat Maya terkejut. Ponselnya hampir saja terjatuh.
Bima memberi tahu rumah sakit di mana Reno dirawat. Maya pun segera berangkat dengan penampilan seadanya. Di jalan, dia merapal doa agar keadaan kakaknya baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit, Maya segera berlari ke IGD. Lampu putih IGD terasa menusuk mata. Bima, rekan Reno, menghampirinya. Wajahnya pucat pasi, seperti baru melihat hantu.