Siska Saskia memiliki persepsi sesuatu yang buruk akan terjadi pada suaminya, Irsyad Hakim. Persepsi semacam ini sering diperolehnya sejak masa SMA. Ia menyebutnya sebagai firasat. Tapi kemampuan ini menghilang begitu saja beberapa tahun kemudian. Kini, firasat itu tampaknya muncul kembali. Berawal dari sebuah lintasan imajiner berupa kobaran api yang muncul pada benaknya secara tiba-tiba selama beberapa detik. Dua hari kemudian, firasat itu muncul dalam bentuk mimpi: suaminya diliputi api yang menyala terang.
Siska awalnya berusaha berpikir logis, bahwa ini hanya imajinasi yang diakibatkan oleh perasaan ngeri setelah ia menyaksikan sebuah berita di TV, tentang sebuah kebakaran hebat sebuah ruko di Bandung Barat yang menyebabkan satu keluarga tewas terbakar. Tapi, firasat ini dirasakannya semakin menguat. Ia ingin memberitahukan hal ini pada Irsyad, namun ia ragu. Ia belum pernah menceritakan pengalaman serupa yang terjadi pada masa lampau pada suaminya. Dan suaminya macam orang yang selalu berpikir logis dan realistis. Setidaknya begitulah menurut sangkaannya, setelah tiga tahun ia mengenali karakternya.
"Irsyad tidak mempercayai hal-hal yang bersifat takhayul." Siska megungkapkan kegelisahannya pada sahabatnya, Ane Kirana, ketika mereka berada di sebuah kafe.
"Itu bukan takhayul, Bestie. Namanya clairvoyance. Bahasa indonesianya... kuas, kwaskit... Aduh lupa aku."
"Apa artinya itu?"
"Bentar, aku cari di google." Ane mengetik kata "clairvoyance" di kotak pencarian. "Nah, ini... Baca sendiri." Ane menyodorkan ponselnya.
"Bahasa Inggris. Aku nggak ngerti."
"Makanya Lo musti belajar inggris."
"Kamu terjemahin aja."
"Kamu ini ... Kan ada Google Terjemahan?"
Saskia meng-copy paste teks dari situs yang tampak di ponsel itu ke aplikasi terjemahan.
"Aku baru tahu istilah ini."
"Dari dulu kamu memang alergi baca."
Siska mendapati suaminya tidak berada di sampingnya ketika dia terbangun pagi itu. Ia turun dari tempat tidurnya, lalu berjalan terhuyung ke luar kamar. Ia melihat suaminya tengah berbicara melalui ponsel di ruang tamu. Siska memutuskan untuk mengupingnya di balik sebuah partisi.
"Ya, saya tahu. Saya cuma minta tambahan dua puluh lima juta. Nggak besar, kok," ujar Irsyad.
Terdengar suara wanita yang kurang jelas dari ponsel.
"Kenapa tidak bisa langsung ke rekening saya?" sambung Irsyad. "Bagaimana? Oh, gitu, ya .... Oke, saya masuk kantor pukul delapan. Sekarang .... enam lebih sepuluh menit .... Ya, ya, saya tahu tempat itu. Saya berangkat sekarang .... Oke, nanti saya telpon kalau sudah sampai di lokasi .... Mmm, oke oke."
Siska menghampiri suaminya.
"Mas, jangan pergi," ujarnya.
"Apa, Yang?"
"Mas jangan pergi. Aku takut ...."
Irsyad mengerutkan dahinya. "Takut? Takut apa?"
Siska duduk di depan suaminya dan mulai menceritakan percakapannya dengan sahabatnya tempo hari.
"Oh, itu namanya extrasensory perception, Sayang."
"Apa artinya?"
"Artinya.... indera keenam."
Siska terlonjak gembira.
"Jadi, Mas percaya?"
Irsyad berpikir beberapa saat. Ia ingin mengatakan, bahwa percaya atau tidak pada indera keenam bukan sesuatu yang penting. Ia menganut prinsip feeling is a bad guide. Tapi, ia tidak ingin menyinggung perasaan istrinya.
"Begini, Sayang. Aku harus kerja. Banyak yang harus aku tuntaskan hari ini. Semuanya penting."
"Tapi ...." Siska merengut. "Katanya, Mas percaya."
"Sayang, hal-hal semacam itu memang ada. Tapi, kita tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan. Masalahnya, apa yang kamu bayangkan bisa dipengaruhi imajinasi, halusinasi, atau pun emosi sesaat. Kamu 'kan sedang hamil ... berapa bulan?"
"Dua."