Malam Jumat minggu keempat bulan Oktober, suhu kota Bandung mencapai 24 °C. Angin dengan kecepatan sepuluh kilometer per jam berhembus membawa cukup banyak uap air, menyebabkan hujan ringan turun sejak sore hari. Mulai pukul 20.34, hujan itu reda. Jalan-jalan di beberapa tempat di kota tampak hitam mengkilap, memantulkan cahaya lampu-lampu dari pertokoan.
Di trotoar sebuah jalan yang sepi, di bawah sebuah lampu pedestrian yang bersinar suram, Tarina Nisa berdiri menunggu seseorang. Jam menunjukkan pukul 21.23 ketika ia menyulut sebatang Esse Change Applemint—rokok ketiga yang dihisapnya selama setengah jam penantian yang membosankan. Seandainya ia sukses sebagai bintang sinetron dan film, ia tidak akan berdiri seperti ini, seperti seorang pelacur yang menunggu seorang pelanggan. Tapi, setelah bermain sebagai figuran dalam tiga sinetron dan satu film, ia langsung tenggelam. Tidak ada satu tawaran pun menghampirinya untuk bermain selama satu tahun terakhir ini. Para pendatang baru yang lebih muda dan segar tampaknya telah menghabiskan jatahnya. Sementara sisa uang tabungannya semakin menipis, tergerus gaya pergaulan selebritas. Dua bulan yang lalu, ia terpaksa menjual Nissan Livina-nya. Sebagian uang hasil penjualan mobil itu digunakannya untuk melunasi kartu kredit, membayar sewa kos, dan biaya kuliah adiknya. Selama masa sulit itu, ada satu dua temannya yang mau berbaik hati memberinya bantuan keuangan. Tentu saja, mereka tidak akan selamanya bisa membantu.
Ia merindukan kampung halamannya. Ia merindukan pegunungan, pesawahan, dan sungai dengan air yang mengalir jernih di sebuah desa di Kabupaten Garut. Ia ingin pulang. Tapi, kalau itu dilakukannya, sudah dipastikan gerombolan keluarga dan kerabatnya akan menyerbunya untuk menghabiskan sisa uangnya. Karena mereka menganggapnya telah meraih kesuksesan di kota. Dan bagi mereka, kesuksesan identik dengan kepemilikan uang yang banyak.
Ia merindukan Firman, temannya sejak di Sekolah Dasar dan pacarnya ketika di Sekolah Menengah Atas. Firman adalah pria desa yang gagah, tampan, jujur, bersahaja, dan setia, meski—menurutnya saat itu—agak dungu. Kekurangan yang terakhir inilah yang membuat Tarina memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Saat itu Tarina menganut prinsip: selama di SMA, pilihlah laki-laki yang tampan; setelah tamat SMA, pilihlah laki-laki yang berduit. Ia merasa ragu Firman bisa memenuhi segala kebutuhannya kalau dia menjadi suaminya. Biaya untuk skin care-nya saja bisa setara gaji pokok PNS golongan IIIa dengan masa kerja lima tahun. Di antara para siswi di sekolahnya, Tarina termasuk "lima teratas" paling cantik. Sadar akan hal itu, ia merasa layak untuk mendapatkan seorang pria dengan penghasilan minimal tiga kali Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat.
Kenyataan yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Di desanya, Firman sukses sebagai peternak domba dan kini ia memiliki beberapa hektar kebun dan sawah. Setelah ditinggalkan Tarina, Firman berpacaran dengan seorang janda bernama Evi, anak satu-satunya pengusaha pasir terkaya di desanya. Suami pertama Evi, Iko, adalah seorang pria tampan, anak Kepala Desa. Evi dijodohkan oleh ayahnya karena ayahnya bersahabat dengan ayah Iko. Selama menjadi suami, Iko tidak pernah "menyentuh" Evi. Belakangan, para tetangga memergoki Iko tengah memadu kasih dengan seorang mahasiswa yang sedang menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desanya. Iko jatuh cinta pada mahasiswa itu karena ketampanannya mirip aktor film drama korea pujaan Iko. Merasa jijik, Evi segera menggugat cerai suaminya. Dalam kondisi kecewa dan sakit hati, Evi memperoleh teman "curhat" yang cocok, yakni Firman—salah seorang karyawan ayahnya. Lama-kelamaan, Evi jatuh cinta pada Firman. Demikian pula sebaliknya. Karena suatu "kecelakaan"—entah disengaja atau tidak—Evi hamil dan Firman harus bertanggung jawab. Firman akhirnya menikahi janda itu. Bonusnya, Firman mendapat pinjaman uang dari mertuanya untuk modal usaha. Firman memilih memulai usahanya dengan beternak domba karena itu usaha yang paling dipahaminya. Dengan uang pinjaman itu, Firman membeli sepasang domba dan hasil pertanian dari beberapa petani di desanya. Domba-domba itu dipeliharanya dengan telaten dan hasil pertanian dijualnya ke pasar di kota. Domba betina Firman beranak hampir bersamaan dengan kelahiran anak pertamanya. Untuk selanjutnya, ketika anak domba itu bertambah, bertambah pula anak Firman, dan bertambah pula kekayaannya.
Sementara, Tarina belum juga mendapatkan pasangan yang diharapkannya. Ada memang beberapa pria yang dinilainya cocok baginya. Tapi, masalahnya para pria itu tidak mau menikah dengannya. Kadang Tarina merasa menyesal telah memutuskan hubungannya dengan Firman dulu. Jalan kehidupan memang sulit diprediksi.
Kini ia menunggu seorang asing, yang menghubunginya pertama kali lewat direct message Instagram-nya. Orang asing ini agak menakutkan. Foto Profilnya adalah foto German Shepherd Dog—Anjing Gembala Jerman. Dan tidak ada postingan apa pun di Instagram-nya. Ketika orang ini menawarinya sebuah pekerjaan untuk memerankan sesuatu, Tarina hampir tidak menganggapnya serius. Jadi, ia meresponnya sambil lalu. Sampai suatu hari seorang kurir mendatangi rumah kosnya dan menyerahkan sebuah paket kecil tanpa nama pengirim. Isi paket itu uang tunai sebesar tiga puluh juta rupiah. Tarina kemudian menerima pesan lagi: "Itu DP. Sisanya tujuh puluh juta rupiah jika kamu menuntaskan pekerjaan ini." Tarina merasa heran, bagaimana orang misterius ini mengetahui tempat tinggalnya. Ia meminta alamat dan nomor telepon orang itu, tapi orang itu meminta dia menunggu di sebuah titik lokasi—jalan tempat ia berdiri saat ini. Orang pemalu ini mungkin pejabat, pengusaha, atau orang penting yang ingin tidur dengannya, atau menjadikannya sebagai istri simpanan. Tapi, orang ini mungkin tidak ingin identitasnya diketahui oleh publik atau istrinya, pikir Tarina. Dalam kondisi butuh uang, ia merasa tidak punya pilihan. Ia hanya bisa berdoa, semoga orang ini bukan penderita sadomasokis.
Tarina menjentikkan puntung rokoknya ketika sebuah mobil Toyota Camry berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya. Pintu belakang sebelah kiri mobil itu terbuka perlahan. Tarina menyangka ada orang di jok belakang mobil itu dan sangkaannya meleset. Ketika duduk, pintu itu menutup secara otomatis. Keheranan meliputi dirinya dan jantungnya mulai berdebar. Mobil ini telah dimodifikasi. Antara dia dan pengemudinya terhalang partisi kaca buram dengan beberapa lubang di tengahnya. Pandangannya keluar jendela mobil juga tidak begitu jelas karena kaca mobil itu dilapisi kaca film yang juga buram.
Tarina mulai panik saat mobil itu mulai bergerak. Samar-samar, ia bisa melihat pengemudi mobil itu mengenakan jaket hoodie hitam yang tampaknya terbuat dari bahan kulit. Penutup kepalanya melindungi sebagian wajahnya yang tertutup topeng Guy Fawkes. Tarina menangkap refleksinya lewat kaca spion depan.
"Saya mau dibawa kemana?" Tarina gugup.
"Suatu tempat untuk pelatihan peran."
Tarina kaget. Itu suara seorang wanita. Lenyaplah bayangan seorang sugar daddy dari benaknya.
"Sa—saya merasa tidak nyaman. Saya tidak menyangka ...."
"Tenanglah. Saya tidak akan menyakitimu."
"Tapi, mengapa ...."
"Ini misi rahasia. Tapi mudah. Kamu pasti bisa melakukannya."
Tarina berpikir cepat. "Saya tidak mau menjadi kurir narkoba."
Wanita itu tertawa kecil. "Tidak. Bukan untuk itu aku membawamu. Kamu bisa menolak tawaran ini sekarang dan kamu bisa turun dari mobil ini."
"Uang yang tiga puluh juta itu?"
"Kamu harus mengembalikannya jika kamu membatalkan kerja sama ini."