JEBAKAN MAYA

YUYUN BUDIAMAN
Chapter #9

PERSELINGKUHAN


Senja belum sepenuhnya berganti malam ketika matahari mulai melewati batas bawah cakrawala. Aram temaram masih menyisakan berkas cahayanya, membentuk siluet tiang-tiang sinyal dan rangkaian gerbong kereta api yang terparkir di area Stasiun Bandung.

Sambil duduk di kursi peron, Gani menatap pemandangan suram itu cukup lama. Tenggelamnya cahaya surya seolah melambangkan sirnanya sinar kehidupan dalam dirinya. Firasat kehilangan semua yang berharga yang dimilikinya melintas dalam benaknya, membuat batinnya semakin tertekan.

Gani baru saja kehilangan pekerjaan yang telah digelutinya selama lebih dari sepuluh tahun. Kariernya tengah menapak menuju puncak ketika tiba-tiba badai misterius menerpa dan memorak-porandakan semua yang telah dijalinnya dengan susah payah.

Pulang ke Jakarta dan bertemu keluarganya biasanya merupakan terapi yang mampu menetralisasi tekanan-tekanan akibat beban pekerjaan. Tapi, kali ini, ia pulang ke kota itu untuk bertengkar dengan Layla, istrinya. Entah siapa yang mengirim foto-foto dan video mesra dirinya dengan wanita-wanita lain ke istrinya melalui WhatsApp. Layla meradang dan meminta Gani pulang untuk membicarakan kemungkinan penceraian mereka. Gani berniat menjelaskan bahwa foto-foto dan video itu mungkin dibuat oleh seseorang menggunakan Artificial Intelligence Generator, seperti DeepFake. Tapi, apakah Layla akan percaya, sedang ia pernah dua kali menoreh luka di hati istrinya itu karena perselingkuhan yang dilakukannya? Ini pasti sulit, mengingat pula pengetahuan Layla tentang teknologi komputer dan internet sangat minim. Lebih sulit meyakinkan orang yang tidak tahu daripada yang tahu.

Gani sebenarnya telah mulai muak dengan Layla yang selalu mencurigai dirinya. Rasa cintanya terhadap Layla berangsur pudar. Setidaknya sejak Layla jadi frigid saat melakukan hubungan suami-istri. Ia berusaha mempertahankan perkawinan hanya demi anaknya yang baru berusia tujuh tahun. Hal yang sama rupanya dialami juga oleh Layla. Andaikan penceraian tidak bisa dihindari, ia berharap bisa membawa anaknya. Itu pun kalau nanti hakim pengadilan agama menetapkan hak pengasuhan anak padanya. Masalahnya, ia merasa tidak begitu dekat dengan anak itu, demikian pula sebaliknya. Jika anak itu disuruh memilih, pastilah ia lebih memilih ibunya.

"Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Argo Parahyangan akan diberangkatkan dari stasiun Bandung menuju stasiun akhir Gambir... Dear passengers, in a moment Argo Parahyangan train will depart from Bandung station to Gambir station which is the Final Station...." Sebuah pengumuman dalam dua bahasa yang terdengar dari pengeras suara membuyarkan lamunan Gani. Ia bangkit berdiri dan bergegas menuju gerbong Eksekutif kereta api Argo Parahyangan 7045B.

Tidak seperti biasanya, pada akhir pekan ini stasiun Bandung tidak diramaikan oleh begitu banyak penumpang kereta api menuju Jakarta. Gani mengambil tempat duduk di kursi nomor 7D yang berada di jalur kanan. Ia tengah memandang keluar kaca jendela ketika seorang wanita berdiri di sebelahnya.

"Nomor 7C...," gumam wanita itu sambil menjulurkan tangannya untuk mendorong sebuah duffel bag "Maaf, Pak."

Agak lama wanita itu mengatur letak tasnya. Darah Gani tersirap. Gerakan tangan wanita itu menyebabkan blazer bagian atasnya tersingkap, menampakkan cetakan sepasang bukit berpuncak dua tonjolan yang menekan blus kremnya. Wanita itu spontan menutupkan blazer-nya dengan senyum malu. Gani menundukkan kepalanya dengan gugup, berusaha menghindari kontak mata. Ia sadar, mata pria yang sedang terangsang tidak pernah bisa berbohong.

Wajah wanita itu berbentuk oval. Rambut lurusnya yang hitam terurai lembut sampai ke punggung. Matanya yang agak sipit berujung runcing. Kulitnya yang putih tampak sehalus kulit bayi. Tubuhnya ramping, padat, dan proporsional. Tipe wanita favorit Gani, sekaligus titik lemah maskulinitasnya.

Wanita itu lalu duduk sambil mengangkat kaki kanan untuk ditopang kaki kirinya. Gerakannya halus, tapi mampu mengangkat rok pendeknya sekitar tiga belas sentimeter di atas lutut. Paha dan kakinya tampak mulus bersinar. Satu tarikan nafas Gani yang disertai lonjakan gairah mendadak melenyapkan seluruh persoalan hidup yang membebani pikirannya. Seperti panas matahari pagi yang melenyapkan seluruh kabut.

Gani memberanikan diri menoleh. Wanita itu tengah mengikat rambutnya dengan scrunchie merah lembayung. "Ke Jakarta, Mbak?" tanya Gani agak gugup. Penumpang paling dungu pun tahu kereta ini menuju Jakarta. Gani segera menyadari pertanyaan bodohnya. Tapi, wanita itu tersenyum dengan mata nakal berbinar.

"Bukan. Mau ke Bali," ujarnya dengan nada menggoda. "Ke Jakarta lah...."

Gani tersipu. Canda wanita itu seketika mencairkan ketegangannya. Semangatnya naik. Ia menafsirkan canda wanita itu sebagai sambutan hangat, sekaligus undangan untuk komunikasi lebih lanjut.

"Pulang, ya?"

"Apa?"

"Mau pulang, ya? Rumahnya di Jakarta."

"Oh, bukan. Aku ke Jakarta untuk mengurus sesuatu."

"Oh."

Gani lalu terdiam. Ia berpikir keras mencari bahan percakapan. Anehnya, ia merasa agak kesulitan dan otaknya mendadak tumpul. Mungkin karena peluang luar biasa ini muncul tiba-tiba saat ia tidak begitu siap secara mental. Perubahan suasana hati dari dingin dan terpuruk menjadi hangat dan bergairah secara mendadak menimbulkan turbulensi mental pada dirinya. Ia sudah terampil menggoda wanita sejak masa kuliah. Kemampuannya ini semakin terasah ketika di lingkungan kantornya bertebaran karyawan wanita yang bening-bening. Tapi, di samping wanita ini, ia seperti kura-kura bebal yang tidak berkutik. Ia menarik nafas, mulai mencoba menganalisis penyebabnya. Akar masalahnya segera ditemukan: sudah lebih dari tiga bulan ia tidak menyentuh dan mendapatkan kehangatan dari tubuh seorang wanita. Setelah beberapa menit berusaha menetralisasi ketegangannya, otaknya perlahan mulai normal dan basic instinct-nya mulai bangkit. Ia berhasil kembali ke wujud aslinya, seorang bajingan perempuan. Moncong biawaknya nyaris mangap ketika wanita itu tiba-tiba bertanya.

"Mas mau pulang ke Jakarta ya?"

"Oh, bukan. Aku ada urusan bisnis." Gani berbohong dengan lancar. "Aku asli Betawi, jadi panggil saja aku Abang... Atau namaku, Gani."

"Aku asli Sunda. Bisa dipanggil 'Eneng' atau 'Neng'. Tapi, aku biasa dipanggil Tari."

"Panggilan 'Eneng' juga digunakan dalam budaya Betawi lho, sebagai panggilan sayang. Mirip panggilan 'Babe'."

"Lho, bukannya 'Babe' artinya 'Bapak'?"

"Maksudnya 'Babe' dalam bahasa Inggris." Gani tertawa. "Kayaknya Betawi dan Sunda bersaudara, atau mungkin masih satu keturunan."

"Mm... bisa jadi. Orang Betawi sama orang Inggris mungkin juga satu keturunan kalau begitu."

Gani tertawa lagi.

"Bisa aja. Kenapa tidak dipanggil 'Teh' atau 'Teteh' saja? Kayaknya lebih enak didengar."

"Nggak, ah. Aku trauma."

"Maksudnya?"

"Aku pernah ditawari minuman, 'Teteh teh mau teh?' "

"Oh, atuh jadi pabaliut."

Keduanya tertawa tergelak-gelak, sempat menuai perhatian penumpang lain.

"Nama lengkapku Gani Gunawan." Gani menjulurkan tangan kanannya.

"Tarina Nisa." Tarina menyambut tangan itu.

Sontak kelembutan tangan Tarina yang sehalus sutra menyentuh sel-sel reseptor sensorik pada kulit tangan Gani. Sentuhan ini menimbulkan energi rangsangan intens yang diubah menjadi impuls listrik, yang kemudian mengalir cepat melalui sel saraf aferen menuju otaknya. Otaknya lalu memberikan tafsiran mesum, menyebabkan darah mengalir deras melalui pembuluh arteri dan terperangkap pada ruang corpus cavernosa. Dalam tempo beberapa detik, miliknya berereksi. Spontan ia menutup bagian itu dengan ujung mantelnya. Terlambat. Mata Tarina sempat menangkapnya, menyebabkannya tersipu dengan pipi merona merah jambu.

Saraf dan otak Tarina rupanya mengalami reaksi serupa. Oh, tidak, umpatnya dalam hati, jangan sampai aku jatuh cinta. Saat ini, uang jauh lebih penting. Uang dulu, cinta kemudian.

"Sebentar, ya," ujar Tarina sambil merogoh tas bahu Louis Vuitton-nya. Ini kesempatan emas bagi Gani untuk menikmati kecantikan wajah Tarina dengan tenang. Wanita itu kini sibuk mengubek-ubek isi tasnya. Wajahnya tiba-tiba menegang.

"Ya, Tuhan!" serunya.

"Kenapa?"

"Ponselku hilang."

Gani ikut kaget. "Waduh! Kok hilang?"

"Perasaan... di Check In Counter tadi, aku masih memegangnya waktu cetak boarding pass.... Apa dicopet, ya."

"Tari lupa menutup tasnya mungkin." Gani kebingungan mencari kalimat terbaik untuk menunjukkan sungkawanya.

"Aduh, gimana ini?" Mata Tarina mulai basah. Ia lalu menunduk sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Beberapa penumpang tampak kaget dan bersimpati. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Lihat selengkapnya