JEBAKAN MAYA

YUYUN BUDIAMAN
Chapter #10

HONORARIUM TAMBAHAN

Tarina terjaga oleh satu kecupan di dahinya. Wajah Gani berada di atas wajahnya. Mereka saling melempar senyum.

"Pulas sekali tidurmu, Sayang."

"Jam berapa sekarang?"

"Delapan lebih lima. Waktunya sarapan."

Tarina beringsut, menyandarkan punggungnya ke bantal dan kepalanya ke headboard. Dahinya berkerut saat dilihatnya Gani sudah berpakaian rapi.

"Bang Gani mau pergi?"

"Iya."

"Katanya mau beliin aku handphone baru?"

"Abang tidak lupa, Sayang. Nanti kalau urusan Abang sudah beres, Abang ke sini lagi. Kita jalan-jalan di kota dan beli handphone baru. Tapi, kalau-kalau urusannya sampai sore .... Mm, bagaimana kalau Abang perpanjang sewa kamarnya? Supaya jalan-jalannya bisa malam?"

"Terserah Bang Gani."

"Tari mau ke rumah teman kapan?"

"Mm ... mungkin nanti siang."

"Oke. Kalau begitu Abang pergi dulu, ya."

Tarina mengangguk. Gani mengecup bibir Tarina sekali, lalu bergegas keluar kamar.

Begitu pintu kamar tertutup, Tarina meloncat dari tempat tidur. Ia mengambil ponsel dari tasnya. Hanya ada satu nomor kontak di ponsel itu dan Tarina menyentuhnya.

"Halo?"

"Ya."

"Mengenai honor saya, kapan saya ...."

"Ada di resepsionis."

"Oh. Kapan itu ...."

"Hubungi bagian resepsionis dan tanyakan kiriman paket untukmu."

"Oh, iya. Kenapa sih tidak bisa lewat rekening?"

Telpon ditutup.

"Sialan! Sombong amat dia."

Tarina mencuci muka dan menyisir rambutnya di wastafel. Pandangannya mengitari ruangan, mencari pakaian yang dikenakannya semalam. Di lantai tidak ada lagi pakaian yang berserakan. Ia berjalan menuju lemari. Langkahnya terhenti di depan sebuah cermin panjang. Sejenak ia mengamati tubuhnya yang telanjang. Ada beberapa bagian dari tubuhnya itu yang tampak kemerahan. Ia tersenyum simpul saat membayangkan peristiwa semalam. Laki-laki itu seperti hewan buas yang kelaparan, pikirnya.

Seperti yang diduganya, Gani menyimpan pakaiannya di lemari. Setelah mengenakan pakaian itu, Tarina bergegas keluar kamar menuju lift. Keluar dari lift, ia setengah berlari menghampiri meja resepsionis.

"Permisi. Apa ada paket untuk saya?"

"Maaf, namanya siapa, Mbak."

"Tarina Nisa. Kamar nomor 305."

"Baik. Saya cek dulu ya. Oh ya, ada satu paket untuk Mbak Tarina."

Resepsionis itu memberi tanda pada koleganya untuk mengambil paket dari sebuah rak.

"Ini paketnya, Mbak Tarina. Tolong tanda tangan di sini."

"Terima kasih." Tarina membubuhkan tanda tangan pada sebuah buku.

"Sama-sama. Ada lagi yang bisa saya bantu, Mbak Tarina?"

"Mm ... siapa yang mengirim paket ini ya?"

"Biasanya kurir, Mbak."

"Laki-laki atau perempuan? Masih ingat wajahnya seperti apa?"

Petugas pembawa paket itu tersenyum. "Maaf, Mbak. Kami tidak sempat mengingatnya. Kebetulan tadi banyak tamu yang check out."

"Oh, baiklah. Nggak apa-apa. Terima kasih, ya."

"Sama sama, Mbak."

Tarina ingin sekali segera membuka paket itu, tapi ia merasakan perutnya sangat lapar. Ia memasuki ruang restoran.

"Kamar nomor berapa, Bu?" Seorang petugas menyapanya.

"Kamar nomor 305."

"Atas nama Ibu Tarina Nisa, ya. Silakan, Bu."

Restoran itu agak sepi. Tamu-tamu lain tampaknya sudah lebih dulu menyelesaikan sarapannya. Tarina mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan sepotong bistik daging sapi. Ia melahap makanan itu dengan tergesa-gesa hingga terselak. Ia meraih gelas dan meneguk habis airnya.

Selesai makan, ia berjalan cepat memasuki lift yang kebetulan pintunya terbuka karena seseorang hendak keluar. Lima menit kemudian, ia sudah berada di dalam kamar. Dengan susah payah, ia berusaha membuka paket yang terbalut lakban itu. Menggunakan pisau kecil yang terlipat pada alat pemotong kuku, akhirnya ia berhasil merobek pembungkus paket itu. Ia mengambil sebuah kantong kertas yang terdapat di dalamnya. Perlahan dicabutnya gepokan uang seratus ribuan. Ia menghitungnya. Jumlahnya tujuh puluh juta rupiah. Tidak kurang dan tidak lebih. Ia hendak menyimpan uang itu pada brankas di lemari, tapi urung. Ia memasukkannya pada tas.

Tarina kemudian membuka seluruh pakaiannya dan berjalan memasuki kamar mandi sambil menenteng tasnya. Beberapa menit kemudian, ia merendam tubuhnya pada bathtub yang berisi air hangat. Ia berbaring sambil memejamkan matanya. Air hangat itu mampu mengendurkan otot-ototnya yang sempat menegang. Ia mencoba lebih rileks dan mengosongkan pikirannya. Lima belas menit kemudian, ia keluar dari bathtub, lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia lalu menghampiri lemari untuk mengambil bathrobe yang disediakan pihak hotel dan sebuah ponsel yang tersimpan di dasar duffel bag-nya.

Sambil berselonjor di sofa dan mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, ia menyentuh layar ponselnya dengan jari tangan kanan. Ia pun mulai menelusuri Instagram-nya, berharap ada perusahaan yang memintanya mengiklankan produk mereka. Atau apa pun yang bisa menghasilkan uang. Sayangnya, tidak ada satu pun pesan untuknya.

Iseng-iseng, Tarina membuka Instagram Wina, adiknya. Ia terkejut saat melihat sebuah foto. Pada foto itu tampak Wina berdiri di atas sebuah bukit. Di belakang Wina terlihat sebuah bangunan vila. Tarina mengenali bangunan itu—tempat ia menjalani pelatihan peran di bawah perintah wanita bertopeng. Di sana, ia harus berlatih peran dalam empat skenario. Ia baru mengerti, keempat skenario itu dibuat untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan situasi. Dan kejadian di kereta itu adalah salah satu dari keempat skenario tersebut. Ia mengalami kesulitan mengenali jalan-jalan yang dilalui mobil yang menghantarkannya ke vila itu. Kecuali kaca depan, semua kaca mobil itu buram. Lagi pula, berangkat dan pulangnya dilakukan pada malam hari. Segera ia mengambil screenshot dari foto itu dan mengirimkannya ke WhatsApp adiknya dengan disertai pesan: Ini di daerah mana? Kapan kamu bikin fotonya? Pikirnya, cara ini lebih cepat dibaca adiknya daripada mengirim pesan lewat Instagramnya. Tapi, lewat satu menit, ia belum memperoleh jawaban dari Wina. Tarina kemudian menelpon adiknya.

"Ya, Teh. Ada apa?"

"Baca WA dari aku."

"Oke."

Tarina segera mendapat jawaban melalui WhatsApp-nya: Itu sudah agak lama. Nama tempatnya desa Cikole. Di daerah Lembang. Memang kenapa?

Tarina bertanya lebih lanjut melalui telepon. "Win, ngapain kamu di tempat itu?"

"Itu waktu aku main sama teman ke Lembang. Kira-kira ... dua bulan yang lalu."

"Iya, tapi ngapain kamu di sana?"

"Cuma lewat sebentar dan difoto. Emang kenapa sih? Teteh pernah ke tempat itu?"

Tarina kebingungan menjawab. "Nggak. Aku ... aku cuma tertarik pemandangannya."

"Aneh? Oh, buat shooting ya?"

Lihat selengkapnya