JEBAKAN MAYA

YUYUN BUDIAMAN
Chapter #11

GUGAT CERAI


Dari hotel, Gani tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia singgah di sebuah toko boneka di Jalan Ratu Kemuning. Ada sekitar dua ratus macam boneka di toko itu. Gani kebingungan memilihnya. Lantas ia menghampiri pramuniaga yang paling cantik.

"Maaf, Mbak. Saya mencari boneka untuk anak...." Gani berusaha mengingat usia anaknya. "Usia tujuh atau delapan tahun."

Pramuniaga itu tampak kebingungan. Ia sendiri berusia dua puluh lima tahun dan masih tidur dengan boneka Snoopy. Akhirnya ia menunjuk boneka yang paling mahal.

"Nah, ini kayaknya cocok deh, Pak."

"Aduh, jangan boneka monyet dong, Mbak."

"Ah, yang ini, Pak. Boneka Doraemon. Atau ini, Grizzly. Atau boneka panda ini. Semua berkualitas premium dengan standar SNI. Bulunya dijamin tidak mudah rontok. Bahannya ada dari velboa, yelvo, rasfur, dan polyester. Yang dari polyester bagus, Pak. Anti bakteri, kuman, dan jamur...."

Gani tidak mampu menangkap semua kata-kata pramuniaga itu; ia lebih tertarik pada bibirnya yang merah ranum dan tampaknya semanis stroberi. Tanpa sadar ia menekan-nekan dahinya. "Saya pilih boneka polyester aja, Mbak. Yang anti bakteri, kuman, dan jamur."

Alis pramuniaga itu berkerut. "Oh, boneka panda ini saja ya. Pasti cocok untuk anak Bapak."

"Oke deh, saya ambil yang itu."

Dengan terampil pramuniaga itu mengangkat sebuah boneka setinggi lebih dari satu meter.

"Oh iya, sebentar, Mbak. Kalau bisa...boleh saya minta nomor WA Mbak. Mungkin nanti saya bisa konsultasi masalah boneka. Mbak tampaknya menguasai masalah boneka. Saya mungkin memerlukan lebih banyak boneka untuk panti asuhan anak-anak yatim."

Pramuniaga itu tampak sedikit terkejut. Tiba-tiba ia teringat sebuah kisah tentang seorang CEO yang menyamar jadi manusia biasa. Siapa tahu.

"Nanti saya tulis di kertas ya, Pak," bisiknya dengan disertai senyum malu-malu.

"Ah, terima kasih, Mbak."

Gani akhirnya keluar dari toko itu dengan hati berbunga-bunga. Gampang sekali mendapatkan wanita, pikirnya, asal tahu tekniknya. Ia agak kepayahan membawa boneka besar itu. Di trotoar, ia hampir menabrak seorang anak jalanan yang tampak kurus dan kumuh. Satu tangan anak itu menengadah; tangannya yang lain melakukan gerakan menyuap ke mulutnya. Anak itu rupanya kelaparan. Gani mengibas-ngibaskan tangannya ke tubuh boneka, kuatir tangan anak itu telah mengotorinya. Matanya kemudian melotot.

"Minggir!"

Anak itu menghindar ketakutan.

Gani memesan Grab untuk pulang ke rumahnya di Jalan Raya Duri Kosambi. Sampai di rumah itu, ia mendapati adik istrinya, Windy, tengah memainkan sebuah game pada ponselnya. Gadis berumur sekitar tujuh belas tahun itu duduk di sofa, mengenakan daster mini yang tersingkap. Ia tidak menyadari kedatangan Gani karena suara TV yang disetel cukup keras. Gani menatap sejenak belahan dada iparnya dari belakang.

"Win, gi ngapain?" Gani menyentuh pundak gadis itu.

Windy terkejut dan spontan menarik bagian bawah dasternya. "Eh, Bang Gani. Lagi nunggu Abang. Disuruh Mpok Layla. Kapan datang?"

"Baru saja. Kamu kok nggak sekolah?"

"Lagi males, Bang. Eh, Abang disuruh langsung ke Pondok Randu."

"Mpok Layla di sana?"

"Iya, sama Merlin. Ih, bonekanya bagus sekali. Buat aku dong."

"Ini buat Merlin."

"Buat aku?"

"Beli sendiri lah. Kan udah gede."

"Dasar pelit."

"Ntar Abang beliin."

"Kapan?"

"Habis lebaran Iedul Adha. Tahun depan." Gani berjalan menuju pintu ke luar. "Aku ke sana dulu."

Windy memberengut. "Mobil Abang ada di garasi," teriaknya.

Langkah Gani terhenti. "Mpok Layla naik apa ke sana?"

"Dijemput Bang Ardi."

Lihat selengkapnya