Dari hotel, Gani tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia singgah di sebuah toko boneka di Jalan Ratu Kemuning. Ada sekitar tiga ratus macam boneka di toko itu. Gani kebingungan memilihnya. Lantas ia menghampiri pramuniaga yang paling cantik.
"Maaf, Mbak. Saya mencari boneka untuk anak ...." Gani berusaha mengingat usia anaknya. "Usia tujuh atau delapan tahun."
Pramuniaga itu tampak kebingungan. Baru dua setengah bulan ia bekerja di toko boneka itu. Ia sendiri sudah berusia dua puluh tiga tahun dan masih tidur dengan boneka Snoopy. Akhirnya ia menunjuk boneka yang paling mahal.
"Nah, ini kayaknya cocok deh, Pak."
"Aduh, jangan boneka monyet dong, Mbak."
"Ah, yang ini, Pak. Boneka Doraemon. Atau ini, Grizzly. Atau boneka panda ini. Semua berkualitas premium dengan standar SNI. Bulunya dijamin tidak mudah rontok. Bahannya ada dari velboa, yelvo, rasfur, dan polyester. Yang dari polyester bagus, Pak. Anti bakteri, kuman, dan jamur ...."
Gani tidak mampu menangkap semua kata-kata pramuniaga itu; ia lebih tertarik pada bibirnya yang merah ranum, mirip stroberi. Tanpa sadar ia menekan-nekan dahinya. "Saya pilih boneka polyester aja, Mbak. Yang anti bakteri, kuman, dan jamur."
Alis pramuniaga itu berkerut. "Oh, boneka panda ini saja, ya? Pasti cocok untuk anak Bapak."
"Oke deh, saya ambil yang itu."
Dengan terampil pramuniaga itu mengangkat sebuah boneka setinggi lebih dari satu meter. Dengan sigap Gani mencoba membantu memegang boneka itu. Pura-pura tidak disengaja, tangannya menyentuh punggung tangan gadis itu. Terkejut, gadis itu menarik tangannya sedikit. "Tidak apa-apa, Pak," ujarnya dengan pipi bersemu merah.
"Oh iya, sebentar, Mbak. Kalau bisa ... boleh saya minta nomor WA Mbak. Mungkin nanti saya bisa konsultasi masalah boneka. Mbak tampaknya menguasai masalah boneka. Saya mungkin memerlukan lebih banyak boneka untuk panti asuhan anak-anak yatim."
Pramuniaga itu tampak agak kikuk. Tiba-tiba, ia teringat sebuah kisah tentang seorang CEO yang menyamar jadi manusia biasa. CEO super tajir yang mencari gadis untuk dijadikan istrinya. Seorang gadis sederhana dari kalangan rakyat jelata. Siapa tahu.
"Nanti saya tulis di kertas ya, Pak," bisiknya dengan disertai senyum malu-malu.
"Ah, terima kasih, Mbak."
Gani akhirnya keluar dari toko itu dengan hati berbunga-bunga. Gampang sekali mendapatkan simpati dari seorang gadis lugu nan polos, pikirnya, asal tahu tekniknya. Dalam kehidupan modern yang sarat hedonisme, tidak sedikit gadis yang merindukan kemewahan duniawi. Ketika mereka menginginkan kemewahan itu dengan cara yang paling mudah, mereka serupa anak kijang berdaging lunak yang siap diterkam singa atau predator lainnya.
Gani agak kepayahan membawa boneka besar itu. Di trotoar, ia hampir menabrak seorang anak jalanan yang tampak kurus dan kumuh. Satu tangan anak itu menjulur; tangannya yang lain melakukan gerakan menyuap ke mulutnya. Anak itu rupanya kelaparan. Gani mengibas-ngibaskan tangannya ke tubuh boneka, kuatir tangan anak itu telah mengotorinya. Tangan kiri Gani mencengkram tengkuk boneka itu, tangan kanannya merogoh saku celana. Jemarinya berhasil menjepit sekeping koin seribu rupiah. Ia lantas melempar koin itu sehingga menggelinding di atas trotoar. Setelah berhasil menangkapnya, anak itu berdiri lagi. Tangan kanannya kembali menjulur terbuka. Rupanya uang sebesar itu dirasakannya masih kurang. Mata Gani kemudian melotot.
"Minggir!"
Anak itu menghindar ketakutan.
Gani memesan Grab untuk pulang ke rumahnya di Jalan Raya Duri Kosambi. Sampai di rumah itu, ia mendapati adik istrinya, Windy, tengah memainkan sebuah game pada ponselnya. Gadis berumur sekitar tujuh belas tahun itu duduk di sofa, mengenakan daster mini yang tersingkap. Ia tidak menyadari kedatangan Gani karena suara TV yang disetel cukup keras. Gani menatap sejenak belahan dada iparnya dari belakang.
"Win, gi ngapain?" Gani menyentuh pundak gadis itu.
Windy terkejut dan spontan menarik bagian bawah dasternya. "Eh, Bang Gani. Lagi nunggu Abang. Disuruh Mpok Layla. Kapan datang?"
"Baru saja. Kamu kok nggak sekolah?"
"Lagi males, Bang. Eh, Abang disuruh langsung ke Pondok Randu."
"Mpok Layla di sana?"
"Iya, sama Merlin. Ih, bonekanya bagus sekali. Buat aku dong."
"Ini buat Merlin."
"Buat aku?"
"Beli sendiri lah. Kan udah gede."
"Dasar pelit."
"Ntar Abang beliin."
"Kapan?"
"Habis lebaran Iedul Adha. Tahun depan." Gani berjalan menuju pintu ke luar. "Aku ke sana dulu."
Windy memberengut. "Mobil Abang ada di garasi!" teriaknya.
Langkah Gani terhenti. "Mpok Layla naik apa ke sana?"
"Dijemput Bang Ardi."