Mulai pukul 9.06, Gani menjalani pemeriksaan di gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya. Malam setelah tertangkap dan dibawa ke kantor polisi, Gani meminta pemeriksaan ditunda sampai besoknya dengan alasan butuh istirahat dan perlu menghubungi seorang pengacara. Pihak penyidik menyetujuinya. Selama pemeriksaan, ia didampingi Fajar Timur, S.H., M.H., seorang advokat dari Kantor Pengacara Fajar & Partners. Fajar adalah teman satu kosan Gani saat kuliah. Begitu teringat temannya ini, Gani langsung mengontak Fajar untuk meminta bantuan hukumnya. Kebetulan temannya itu berkantor di Jalan H.R Rasuna Said, Jakarta Selatan, tidak jauh dari gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Sepanjang waktu pemeriksaan, Fajar bersikap pasif, hanya melihat serta mendengar atau within sight and within hearing proses interogasi yang dilakukan oleh penyidik. Diam-diam Fajar merasa pesimis bisa membebaskan temannya dari tuntutan hukum yang kemungkinan besar dikenakan padanya. Sepertinya semua barang bukti dan alat bukti yang disebutkan penyidik sangat akurat dan sulit dibantah. Ia sempat tertarik pada satu peristiwa yang diceritakan Gani saat konsultasi awal, yakni ketika korban meminjam ponsel Gani waktu perjalanan di kereta api. Apa yang dilakukan Tarina dengan ponsel Gani? Apakah wanita itu telah melakukan semacam peretasan? Jika iya, untuk apa? Percakapan WhatsApp antara keduanya dilakukan melalui dua ponsel yang masing-masing milik mereka sendiri. Setelah mempelajari latar belakang korban, Fajar tidak yakin Tarina akan melakukan tindakan yang hanya bisa dilakukan seorang hacker profesional. Satu hal yang belum didengar Fajar adalah fakta Tarina menerima kiriman uang sejumlah lebih dari seratur juta rupiah.
Yang membuat Fajar keheranan setengah mati, Gani merasa tidak bersalah dan menolak semua tuduhan yang ditujukan kepadanya. Fajar bahkan sempat menyangka Gani benar-benar telah menjadi seorang pembunuh psikopat. Seorang psikopat tidak merasa bersalah bahkan tidak memiliki beban mental apa pun setelah melakukan suatu kejahatan. Ia lantas teringat, selama kuliah Gani sering menyakiti—dalam artian psikis—pacar-pacarnya tanpa beban.
"Kamu bermalam bersama dia. Sidik jarimu bertebaran di sana, di kamar, di tubuhnya .... Tali baja yang ditemukan dalam tasmu juga dipenuhi sidik jarimu. Sperma yang ada di kasur dan tisu, DNA-nya cocok dengan DNA-mu. Bagaimana kamu bisa menyangkal semua itu?" tanya Fajar saat rehat pemeriksaan.
"Itu yang aku nggak ngerti," jawab Gani. "Pikirmu, ngapain aku bawa-bawa tali itu?"
"Untuk membunuhnya, bisa saja."
"Untuk apa aku membunuh orang yang baru aku kenal?"
"Percakapanmu dengan dia melalui WhatsApp sudah jelas menunjukkan motifmu."
"Ya, Tuhan. Itu juga aku nggak tahu. Aku tidak pernah mengetik satu huruf pun untuk dikirim ke ponselnya. Bagaimana bisa? Aku tidak punya nomor kontaknya. Lagian, dia mengaku kehilangan ponselnya."
"Di dalam tas Tarina ditemukan satu ponsel miliknya. Di ponselnya ada percakapan WA denganmu. Di ponsel kamu ada nomor kontak Tarina dan percakapanmu dengannya. Bagaimana kamu menjelaskan fakta ini?"
Gani menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sumpah, aku baru tahu itu dari polisi. Aku tidak sempat buka-buka WA."