JEBAKAN MAYA

YUYUN BUDIAMAN
Chapter #20

AKHIR PENDERITAAN

"Setiap jalan kehidupan mengandung takdirnya sendiri. Ketika kita memilih satu jalan, di sana telah menunggu serangkaian peristiwa yang akan kita alami. Dan ketika kita memilih jalan yang lain, maka di sana telah menanti pula serangkaian peristiwa yang berbeda yang akan kita hadapi. Tinggal kita memutuskan, jalan mana yang akan kita pilih...."

Seperti suatu kebetulan, kata-kata khatib itu seolah ditujukan pada Gani. Atau sebaliknya, Gani merasa khatib itu membicarakan dirinya.

Khatib salat Jumat itu bernama Imron Rosadi. Ia ditahan polisi karena dituduh sebagai provokator yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di desanya. Ia dianggap menghasut warga desa untuk melawan aparat dalam peristiwa sengketa lahan antara warga desa dan pihak sebuah perusahaan swasta.

Di desanya, Imron Rosadi disegani dan dihormati karena ketinggian ilmu agamanya. Ia lulusan Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Warga desa memanggilnya ustaz, tapi bukan karena ia lulusan Gontor. Ia bukan penduduk asli desa itu. Ia tinggal di desa itu setelah menikah dengan anak gadis lurahnya. Tidak ada warga desa yang tahu kalau ia lulusan Universitas Darussalam Gontor. Ia dipanggil ustaz oleh warga desa sejak menjadi guru mengaji anak-anak di rumahnya. Imron sendiri sebenarnya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang atau dipanggil ustaz. Ia bersekolah di Pondok Modern Darussalam Gontor bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena dipaksa ibunya. Aisah Anida, ibunya, khawatir melihat Imron tumbuh menjadi anak yang nakal dan suka berkelahi. Aisah berharap jika anaknya disekolahkan di pondok pesantren, ia akan menjadi anak yang baik. Dan rupanya doanya dikabulkan Tuhan, meskipun selama belajar di pondok, Imron sering dihukum karena kerap berkelahi. Atas desakan seorang gurunya dan karena prestasi belajarnya yang istimewa, ia melanjutkan pendidikannya ke tingkat universitas. Cita-cita Imron sebenarnya adalah menjadi pengusaha kaya. Terselip di antara doa-doanya, permohonan kepada Tuhan agar ia menjadi orang kaya yang tidak pernah bergantung pada pemberian orang lain. Doanya terkabul. Ia menjadi orang terkaya di desanya. Ia kerap diminta untuk berdakwah pada pengajian-pengajian di desanya. Untuk dakwahnya ini, ia tidak pernah mendapat uang. Bukan karena ia tidak ingin menerimanya, tapi warga desa kebingungan untuk menentukan honorariumnya. Kalau besar mereka tidak mampu, kalau kecil mereka malu. Akhirnya mereka sepakat untuk tidak membayarnya sama sekali. Kadang kalau tidak sedang sibuk, ia kerap memenuhi undangan permintaan dakwahnya dari masjid-masjid di kota. Untuk dakwahnya di masjid-masjid itu, ia menerima honorarium minimal tiga juta rupiah. Uang itu disimpannya pada rekening khusus yang tidak diketahui istrinya. Jika ada warga desa yang terlilit utang, Imron menggunakan uang itu untuk melunasi utang mereka. Dan ia bisa membedakan orang yang terlilit utang karena desakan kebutuhan hidup dengan orang yang terlilit utang karena menyicil iPhone. Ia menggunakan sebagian dari hasil bisnisnya untuk disumbangkan ke banyak fakir miskin. Ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui istrinya yang rada pelit. Ia lebih takut kepada istrinya daripada kepada preman mana pun. Ketika bersama warga desa berdemo dalam urusan sengketa lahan, ia tidak berniat sedikit pun untuk mencari sensasi atau menjadi pahlawan. Urusan sengketa lahan itu berkaitan langsung dengan bisnis utamanya, yakni jual-beli hasil pertanian dan perkebunan warga desa. Jadi, ketika masuk rutan, ia jengkel juga karena itu berarti menyita waktu bisnisnya. Untunglah, ia memiliki banyak karyawan yang loyal sehingga ia bisa mengendalikan bisnisnya dari dalam penjara. Untuk kasusnya ini, ia sebenarnya telah menyewa pengacara terbaik di kotanya dengan bayaran cukup tinggi. Tapi selama di Rutan, ia melihat banyak orang yang membutuhkan pertolongan dan dakwahnya. Jadi, ia kerap mencari gara-gara agar ia bisa sedikit lebih lama berada di Rutan. Kadang untuk ini, ia sengaja menimbulkan keributan. Di kalangan warga binaan di Rutan, ia dikenal karena ilmu agama dan kedermawanannya. Hampir semua narapidana menghormati dia. Bahkan Ali Ramdan, preman yang paling ditakuti, pernah berkata pada sesama narapidana, "Kalian yang berani mengganggu Imron berhadapan dengan aku." Imron sering mendakwahi Ali agar dia mau bertobat, tapi tidak pernah berhasil. Ali sering merespon ajakan Imron secara diplomatis, antara lain dengan berkata, "Nanti saya tobat, kalau Joe Biden sudah pake kopiah haji."

Pada suatu pagi di halaman blok, Imron dan Gani terlibat perdebatan. Perdebatan itu terjadi gara-gara Gani melontarkan kata-kata yang tampaknya menyinggung perasaan Imron. Gani sebenarnya cuma penasaran dan ingin bertanya, tanpa sedikit pun bermaksud mengejek. Tapi, cara bicara Gani yang blak-blakan dan langsung ditafsirkan lain oleh Imron.

"Ustad, kenapa Tuhan tidak menolongmu? Kau tidak bersalah, tapi kau masuk penjara?"

"Kata siapa aku tidak bersalah?"

"Lho, kau 'kan nggak bersalah. Kau membela diri dan warga desa."

"Jadi, kau anggap aku tidak bersalah?"

"Ya, menurutku begitu."

"Andaikan kau polisinya, aku tidak akan berada di sini."

"Ayolah, Tad. Aku cuma penasaran. Kau rajin solat, ngaji, berdoa... tapi nasibmu sama sialnya dengan aku."

"Itu menurut kau. Aku sendiri tidak merasa sial. Aku malah merasa terhormat."

"Masuk penjara kok terhormat. Mana ada orang masuk penjara terhormat. Semuanya hina." Gani menyeringai.

"Kau ini sarjana, tapi cara berpikirmu kayak nggak pernah sekolah. Soekarno pernah masuk penjara dan diasingkan sebanyak 7 kali. Nelson Mandela pernah mendekam dipenjara selama 27 tahun. Apakah mereka terhina?"

"Mereka jadi presiden. Kau?"

Darman, tahanan yang duduk di samping Gani, tertawa-tawa.

"Jadi, kau berpendapat narapidana yang ada di sini orang-orang sial dan terhina?"

"Ya, mereka seperti aku. Sial dan terhina."

Ustaz Imron berteriak ke arah para narapidana yang berada di sekitar mereka. "Hai, kalian semua dengar! Sini dengar! Orang ini menyebut kalian orang sial dan terhina."

Seorang tahanan bertubuh tinggi kekar menghampiri mereka. "Dia bilang apa?"

"Dia bilang, semua tahanan yang ada di sini orang-orang sial dan terhina."

"Benar kamu ngomong begitu?"

Gani panik dan gelagapan. "Maksudku bukan begitu, Bang."

Darman bangkit berdiri. "Benar, dia tadi bilang begitu. Aku saksinya."

Sebuah pukulan keras mendarat di rahang Gani. Ia terjatuh, lalu bangkit melawan. Perkelahian pun tidak terhindarkan. Para tahanan lain mulai memasang taruhan. Imron menjadi bandarnya.

Pagi yang tenang berubah menjadi ribut. Beberapa sipir datang untuk melerai.

"Siapa penyebab keributan ini?" tanya sipir setelah situasi tenang.

Darman langsung angkat bicara. "Ini, ustaz Imron provokatornya."

Ustadz Imron langsung ditangkap dua orang sipir. Dapat dipastikan, ia akan disekap di sel khusus yang sempit dan bau.

Darman tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang perutnya. Ali Ramdan datang menghampirinya dan langsung menempelengnya.

"Ampun, Bang...." Darman memohon sambil memegang kaki Ali.

Gani merasakan otot perut bawahnya berkontraksi. Ulu hatinya terasa sakit. Ia merasa jengkel mendengar dakwah ustaz Imron. Ia hampir terdorong untuk lari ke arah mimbar dan mencekik khatib itu sampai mati. Tapi, kalau itu dilakukan, maka rencananya akan kacau. Ya, hari ini ia punya rencana. Ia akan membebaskan diri dari semua penderitaan yang dialaminya.

Hatinya menolak semua isi dakwah ustaz Imron. Menurutnya, itu hanya hiburan pelipur lara. Ia mempunyai bukti untuk membantahnya. Serangkaian peristiwa mengerikan yang telah terjadi padanya bukanlah karena jalan yang telah ia pilih. Ia masih yakin tidak melakukan kesalahan apa-apa. Ia yakin, sepasang tangan gaib telah mengatur kejadian demi kejadian yang menimpa dirinya. Semuanya tampak sebagai serba kebetulan yang sulit dipahami. Sekarang, ia akan memutuskan rantai takdir keparat ini. Ia pun bangkit dari duduknya.

"Mau kemana, kau?" Si Koreng penyuka sesama jenis mencoba bersikap ramah ketika Gani melewatinya. Gani pernah hampir membunuhnya ketika Si Koreng berniat memperkosanya di kamar mandi. Cuma butuh waktu sekitar dua puluh detik bagi Gani untuk merobohkan Si Koreng dan membenamkan kepalanya ke lubang kloset. Seisi sel awalnya tidak menyangka kalau Gani yang tampan, berkulit putih, dan senang berpenampilan klimis memiliki kemampuan bertarung yang lumayan. Mereka baru tahu setelah melihat Gani melawan anak buah Ali karena tidak tahan diperas. Anehnya, Ali tidak membalas dendam. Ia menghormati siapa pun yang berani melawan, asal siap berkelahi.

Setelah peristiwa perkelahian di kamar mandi itu, Si Koreng mengajaknya berdamai dan bersahabat. Jangankan berkawan, berdekatan saja dengan dia membuat Gani ingin muntah.

Gani berjalan terbungkuk-bungkuk di sisi barisan jemaah salat Jumat. Seorang sipir bernama Marbun Sidik menahan langkahnya.

"Mau kemana?"

"Kakus."

Sipir itu menggeledah tubuhnya. "Sarungnya buka!"

"Kenapa, Pak?"

"Sarungnya berikan padaku!"

Lihat selengkapnya