Hari itu tidak ada jadwal kuliah untuk Alea. Setelah selesai mandi dan sarapan pagi, ia duduk di kursi di teras rumahnya di sebuah kawasan perumahan elit sekitar daerah Tajur, Bogor. Ia mengenakan daster dan membiarkan sinar matahari menyapu kakinya yang putih mulus. Ia mulai berselancar di internet melalui laptopnya dan mencari informasi tentang Gani. Sebuah berita membuatnya tersentak kaget. Dengan jelas berita itu menyebutkan nama Gani Gunawan, seorang tahanan di rutan yang ditemukan tewas bunuh diri di kakus. Tampaknya, tidak ada lagi upaya yang perlu dilakukan untuk membuktikan pria itu tidak bersalah. Niat awal Alea menyelidiki kasus Gani adalah untuk menghindarkan pria itu dari hukuman mati. Hatinya tergerak untuk menolong Gani walaupun ia tidak menyukai pria itu. Ia tidak peduli siapa orang yang berada di balik kekacauan yang dialami Gani. Ia hanya ingin mengetahui bagaimana orang itu bekerja sehingga ia bisa membuktikan Gani sebagai korban teknologi.
Mumun, pembantu rumah tangganya, datang membawa piring berisi potongan buah mangga.
"Cobain ini, Neng. Bawa Bibi dari kampung."
"Ah, mangga. Enak kayaknya. Mangga apa ini, Bi?"
"Mangga harum manis, dipetik langsung dari pohonnya."
Kening Alea berkerut. "Memang ada mangga yang tidak dipetik dari pohonnya?"
"Har, ari Eneng. Maksudnya baru dipetik. Masih segar. Bukan yang udah lama kayak di pasar."
"Oh, begitu. Bawa banyak nggak, Bi?"
"Ada setengah karung."
"Wah, banyak dong. Boleh minta buat Mama?"
"Nggak usah minta atuh. Kan Bibi bawain semuanya buat Neng. Kapan mau ke rumah Mama? Nanti Bibi siapin."
"Mm ... kayaknya nggak sekarang deh, Bi. Besok aja."
"Siap, Neng."
"Makasih ya, Bi. Ini pasti habis sekarang."
"Sama-sama, Neng. Eh, tuh teleponnya bunyi terus."
Sambil mengunyah sepotong mangga, Alea mencari-cari ponselnya.
"Itu di dalam. Di ruang tamu."
Alea bergegas ke ruang tamu. Ia tidak melihat ponselnya. Ia lantas menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mengetahui sumber suara ponsel itu berada di balik punggung kucing Persian Flatnose-nya, yang tengah tidur terlentang di atas sofa.
"Lho, kok ponselku dipakai bantal. Bangun Trump! Tidur mulu."
Hati-hati, Alea mengangkat tubuh kucing itu dan meletakkannya di keranjang berbantal.
Alea terkejut bercampur gembira ketika melihat nama kontak yang tampak di layar. Tapi, seketika pula bulu kuduknya merinding.
"Hai, apa kabarmu?" Alea heran sendiri dengan suaranya yang aneh, seperti tercekat di tenggorokan.
"Baik, Lea. Kamu lagi di kampus?"
"Nggak. Aku lagi di rumah. Kapan kamu datang?"
"Mm ... tiga hari yang lalu."
"Tiga hari yang lalu? Kenapa baru sekarang nelpon?"
"Aku ada urusan penting di Bandung. Rencananya hari ini mau ke Jakarta. Mau ketemu kamu dan Mama."
"Udah nelpon Mama?"
"Belum. Baru mau sekarang, habis nelpon kamu."
"Jangan dulu nelpon Mama."
"Lho, kenapa?"
Otak Alea berputar. Ia harus menemukan jawaban yang tepat dalam sepersekian detik.
"Maksudku, biar nanti aku yang menelpon Mama. Ngasih tahu kamu ada di Indonesia. Kamu juga nggak usah ke Jakarta ...."
"Kenapa?"
"Aku mau ke Bandung. Aku rindu ngobrol sama kamu di vilamu."
Beberapa saat tidak ada respon.
"Oke. Kapan mau ke sini?"
Alea melirik jam di dinding. "Sekitar satu jam lagi aku berangkat."
"Kamu mau nyetir sendiri?"
"Iya. Mang Mardi baru datang dari kampung. Kasihan dia masih capek kayaknya."
"Oke. Tapi hati-hati ya. Jangan ngebut."
"Oke."
Alea menutup teleponnya. Spontan ia terduduk lemas. Aku akan menemui seorang pembunuh. Kalimat itu begitu saja terlintas di benaknya. Pergaulannya yang cukup lama di lingkungan militer dan intelijen menumbuhkan naluri kewaspadaan dalam dirinya. Saat ini, ia tidak ingin Sindy berada dekat dengan ibunya. Dan kalau pertemuannya dengan Sindy dilakukan di rumahnya, ia kuatir ibunya akan menyusul jika mendengar ada Sindy di sini. Ia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Bagaimanapun, Sindy tahu ia seorang petugas negara yang aktif dan terikat pula dengan suatu kewajiban hukum. Apa pun bisa terjadi ketika seseorang merasa terancam. Ia lalu mengutuk sikap paranoidnya. Orang yang akan dia temui adalah "adik"nya yang sangat ia sayangi.
Mumun menangkap sikap majikannya yang tidak biasa.
"Ada apa, Neng? Itu sama Neng Sindy 'kan?"
Alea kaget. Pertanyaan Mumun merefleksikan sikapnya yang tampak aneh di mata pekerja rumah tangganya itu. Dan itu muncul di luar kesadarannya.
"Nggak apa-apa, Bi. Iya, itu Sindy."