Jam telah menunjukkan pukul 00.35. Alea belum juga bisa tertidur. Untuk kesekian kalinya ia berbaring di kasur, merilekskan seluruh otot-otot di tubuhnya, dan mengosongkan pikirannya. Tapi, cerita yang disampaikan Sindy kemarin terus mengganggu pikirannya. Setiap kali ia mengingat cerita itu, tanpa sadar ia memposisikan dirinya sebagai gadis kecil dalam kisah itu.
Surya Darma, ayah gadis kecil itu, tidak bisa menerima kenyataan pahit ketika ia kehilangan uangnya dalam jumlah yang cukup besar, setidaknya menurut ukuran dia sebagai seorang pengusaha kecil.
Semuanya dimulai ketika ia mendapat pesanan 168 unit laptop dari empat instansi pemerintah. Harga telah disepakati olehnya sebagai pihak penjual dan instansi-instansi itu sebagai pihak pembeli. Kontrak tertulis telah ditandatangani kedua belah pihak dan setengah dari uang pembelian telah dilunasi semua pihak pembeli. Kontrak dan pembayaran itu ditandatangani pada bulan Mei tahun 1997. Dengan setengah pembayaran itu saja, Surya telah memperoleh modalnya. Dan sisa setengah pembayaran lagi adalah labanya. Meskipun itu baru perhitungan kasar, tapi bisa dipastikan keuntungan dari penjualan laptop itu hampir berlipat. Masalahnya, ia tidak memilki modal yang cukup. Kekurangannya sekitar dua ratus tujuh puluh juta rupiah. Ia mencoba menemui Burhan, sahabatnya. Ternyata memang, kalau sudah menyangkut bisnis, tidak ada istilah teman atau sahabat. Burhan bersedia meminjami Surya uang untuk tambahan modal itu dengan jaminan sertifikat rumah Surya. Burhan meminta bunga 20% per bulan. Didesak kebutuhan modal, Surya menyetujuinya.
Juli 1997, krisis moneter mulai melanda Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, mencapai Rp 2.450 per dolar. Pelemahan nilai tukar rupiah berlanjut, mencapai sekitar Rp13.000 per dolar pada akhir Januari 1998. Pelemahan nilai tukar rupiah lebih dari lima kali lipat ini berimbas langsung pada harga pembelian komputer karena sebagian besar komponennya harus diimpor. Bisnis Surya langsung ambruk. Bukannya untung yang dia dapat, melainkan utang yang makin berlipat.
Surya jatuh sakit karena beban yang harus ia pikul melampaui kemampuannya. Asam lambungnya naik. Awal April 1998, Surya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Utang Surya berpindah langsung pada istrinya, Narti Indrawati.
Sebaliknya dari kondisi bisnis Surya, kondisi bisnis Burhan mencapai puncaknya. Kesuksesannya mengekspor mebel kayu menggelembungkan simpanan dolarnya. Tidak ada sedikit pun belas kasihanya pada Surya, temannya sejak kecil.
Satu hari setelah menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga Surya, Burhan mulai menanyakan masalah pembayaran utang Surya kepada istrinya. Narti kaget. Ia baru tahu suaminya meminjam uang kepada Burhan dengan jaminan tanah dan rumah mereka. Narti dilarang suaminya untuk mencampuri urusan bisnisnya. Jadi dia tidak tahu apa-apa. Satu-satunya yang dia tahu, Burhan dan Surya pernah bersaing untuk memilikinya.
Narti tidak begitu menyukai Burhan, apalagi mencintainya. Ia tahu, Burhan suka mempermainkan perempuan. Dengan kekayaan yang diwariskan dari orang tuanya, Burhan mengira bisa membeli cintanya. Narti ingat, salah seorang sahabatnya termasuk korban Burhan. Ia hamil dan diusir orang tuanya. Narti juga pernah mendengar rumor, istri Burhan menggugat cerai gara-gara Burhan kerap selingkuh. Rumor lain mengabarkan, penyebab penceraian Burhan dan istrinya adalah karena Burhan punya kelainan. Entah kelainan macam apa.
Burhan kerap menagih utang Surya. Paling tidak seminggu sekali ia datang menagih ke rumah Narti atau menyuruh seorang preman untuk meneror Narti dan keluarganya. Narti berusaha membayar utang suaminya dengan uang hasil penjualan barang kebutuhan sehari-hari di warung kecilnya. Tapi, uangnya jauh dari cukup untuk bisa melunasi semua utang suaminya. Sementara itu, Burhan tetap memberlakukan bunga pinjamannya, menyebabkan utang itu tetap bertambah. Narti memutuskan untuk menjual rumahnya guna melunasi utang itu. Ia sudah memasang spanduk bertuliskan "Rumah ini mau dijual" yang dipasang di pagar rumahnya. Tapi, belum juga ada calon pembeli yang datang. Jangankan ada yang menanyakan harga, yang cuma lihat-lihat saja tidak ada
Suatu hari Narti nekat mendatangi rumah Burhan. Ia akan meminta keringanan jumlah dan tempo pembayaran utangnya. Paling tidak, ia berharap Burhan bisa menghapus bunganya, atau kalau bisa menunda pembayarannya sampai rumahnya terjual. Narti datang ke rumah Burhan bersama anaknya. Siapa tahu anaknya bisa menyentuh hati Burhan dan menimbulkan belas kasihannya.
Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaannya. Awalnya, Burhan membicarakan kemungkinan masalah utang-piutang ini dibawa ke pengadilan. Burhan menjelaskan berbagai konsekuensi hukum yang bisa timbul karena ketidakmampuan Narti melunasi utangnya berdasarkan kesepakatan tertulis antara dirinya dengan Surya. Selain akan kehilangan rumah, Narti juga bisa terancam hukuman penjara. Narti sama sekali buta hukum. Jadi, ia ketakutan. Dan Burhan tahu itu. Ujung-ujungnya, Burhan menawarkan sesuatu yang membuat Narti kaget setengah mati. Intinya, Burhan menawarkan penggantian utang dengan tubuh Narti. Setiap kali Narti bersedia tidur dengannya, sekian persen utang Narti berkurang. Narti bimbang. Burhan tidak memberinya waktu untuk berpikir atau mempertimbangkan. Ia mulai mengelus dan merayu Narti. Burhan mengatakan, cintanya pada Narti tidak lekang oleh waktu. Narti bagai terhipnotis.
Gadis kecil itu melihat ibunya memasuki kamar bersama teman ayahnya. Ia tahu pria itu teman ayahnya karena sewaktu ayahnya masih hidup, pria itu sering datang ke rumahnya dan mengobrol bersama ayahnya. Gadis kecil itu tidak mengerti apa yang tengah mereka lakukan di dalam kamar yang pintunya tertutup. Ia akan menunggu. Seorang anak laki-laki duduk di seberangnya. Mulutnya menyeringai dan matanya terus menatapnya. Gadis kecil itu memalingkan mukanya, tidak berani beradu pandang dengan anak laki-laki itu. Tiba-tiba, ia terkejut mendengar suara ibunya menjerit-jerit dari dalam kamar.
"Ampuun! Sakit!"
Itulah kata-kata yang sempat diingatnya sampai ia dewasa.
Gadis kecil itu bangkit dari duduknya. Ia hendak berlari ke arah kamar untuk menolong ibunya ketika tangan anak laki-laki itu menerkamnya, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Gadis kecil itu menjerit-jerit manakala anak laki-laki itu menindih tubuhnya dan menyingkapkan roknya. Pada saat yang kritis itu, seorang pria berbadan kekar muncul di ruangan dan seketika menendang anak laki-laki itu. Ibunya keluar dari kamar. Sambil menangis, dia memeluknya.
Masalah tidak selesai hari itu. Seiring dengan berjalannya waktu, Narti berusaha menerima nasibnya. Ia memaksakan diri menahan rasa sakit setiap kali harus melayani Burhan. Semua demi melunasi utangnya. Namun, makin hari jiwanya makin terganggu. Tidak terbayangkan sedikit pun seumur hidupnya, ia harus menjadi seorang pelacur. Ia merasa sangat kotor dan terhina. Para tetangga mulai bergibah tentang dirinya. Lebih buruk lagi, seorang mantri kesehatan yang kerap melayani warga sekitar melanggar kode etik dan menyiarkan penyakit yang diderita Narti. Narti pernah berkonsultasi pada mantri itu mengenai keluhan sakit pada bagian tertentu dari tubuhnya. Beberapa orang dari mereka terang-terangan mengejeknya.
Narti sudah tidak sanggup lagi menanggung penderitaannya. Suatu sore, ia membawa anaknya ke rumah kakak laki-lakinya.
"Aku mau nitip anakku, Bang."
"Lo mau kemane?"