Alea meletakkan sebuah vas kaca berbentuk bulat di atas meja. Ia baru saja mengganti airnya untuk diserap sejumput akar halus bunga peace lily.
"Itu air dari keran?"
"Bukanlah, Ma. Air mineral ...."
Alea tidak boleh ceroboh dengan semua tanaman hias milik ibunya. Tak terkecuali dengan airnya.
Ada sekitar empat puluh lima macam tanaman hias di rumah ibunya dan ibunya memperlakukan semua tumbuhan itu seperti anak-anaknya sendiri. Satu saja tanaman hiasnya layu karena lupa disiram sudah cukup untuk membuat ibunya uring-uringan sepanjang hari. Alea ingat, suatu kali sahabat ayahnya datang berkunjung bersama istrinya. Kebetulan saat itu Dokter Anne sedang tidak berada di rumah. Wanita itu tertarik pada anggrek bulan yang tumbuh pada sebuah pot. Terletak di pojok taman yang teduh, terlindungi rimbunan tanaman mawar dan hydrangea, anggrek yang populer dengan nama Butterfly Orchid itu menampakkan kelopak-kelopaknya yang mekar, menyerupai sayap kupu-kupu yang cantik. Saat itu, Chandra berpikir istrinya, yang lumayan sibuk karena jabatannya sebagai kepala rumah sakit, tidak akan mengingat semua tanaman hias miliknya yang begitu banyak. Jadi, ketika ia menyerahkan anggrek itu kepada istri sahabatnya sebagai hadiah, ia mengira tidak akan timbul masalah. Sialnya, begitu pulang dari tempat kerja, hal pertama yang dilakukan Dokter Anne adalah menengok anggrek kesayangannya itu. Segera setelah Dokter Anne mendapati anggrek itu tidak ada di tempatnya, seluruh penghuni rumah terkena kemurkaannya. Chandra nyaris bersujud untuk memohon ampun pada istrinya. Permintaan maafnya baru diterima istrinya setelah ia mengganti tanaman itu dengan tanaman anggrek serupa seharga satu setengah juta rupiah. Sejak saat itu, tidak ada seorang pun di rumah itu yang berani mengganggu tanaman milik Dokter Anne tanpa izinnya—walau cuma memotong setangkai daun.
Suatu kali, Alea pernah bertanya, mengapa ibunya sangat mencintai tanaman. Ibunya lantas menceritakan suatu peristiwa yang telah memberinya kesan yang mendalam. Saat berusia sekitar sepuluh tahun, Anne kecil dibawa orang tuanya berwisata ke Pantai Madasari. Iseng, ia mencoba mencabut sebuah pohon kecil yang tingginya tidak sampai dua puluh sentimeter. Seorang pemilik restoran di pinggir pantai menegurnya dengan keras. Kepada Anne, ia memberi penjelasan yang sederhana: satu tumbuhan itu akan menjadi penyimpan air tawar yang menghidupi seluruh penduduk desa sekitar pantai. Kata-kata pemilik restoran itu tersimpan baik di bawah sadarnya.
"Oh iya, hampir lupa, ayah Kenny akan ke sini besok sore, Ma."
Dokter Anne menutupkan buku dan melepaskan kacamata bacanya. Alisnya terangkat dan matanya berbinar-binar.
"Alhamdulillah. Mau melamar, ya?"
"Yep, that's right, Mom."
"Ibunya?"
"Ibunya sudah lama meninggal."
"Kalau begitu, besok siang Mama akan ke salon."
Alea tertawa. "Ngapain ke salon, Ma?"
"Supaya Mama tampil cantik saat menyambut beliau."
"Mama, ayah Kenny datang untuk mendampingi anaknya ... melamar Alea. Bukan mau melamar Mama."
Dokter Anne tertawa tergelak-gelak.
"Bisa saja kamu. Kalau begitu, kamu yang harus ke salon."
"Nggak perlu Alea ke salon. Alea sudah terlalu cantik."
"Pede amat kamu."
"Memang begitu faktanya, Ma." Alea mengikik.
"Oh ya, sampai mana penyelidikanmu tentang kasus Gani?"
Alea terkejut. Tiba-tiba ia khawatir Sindy telah bercerita pada ibunya.
"Apa yang Mama ketahui?"
"Ya ... sejauh yang pernah kamu ceritakan tempo hari. Kamu belum cerita lagi. Mama juga baru ingat sekarang."