Karen berharap dia berada di tempat lain sekarang. Sebuah tempat di mana hanya ada dirinya, tanpa orang lain. Di mana cahaya menyelinap melalui celah-celah jendela. Dengan sedikit penerangan yang cukup baginya untuk bisa membaca buku. Tanpa ada gangguan. Tiada suara-suara. Hanya dia. Spasi tercipta antara dirinya dan semesta.
Kenyataannya, dia duduk di meja makan. Seperti mayoritas hari-hari sebelumnya, atmosfer rumah tidak menyenangkan. Mami sedang dalam mood terbaiknya untuk mengomel. Setelah jeda gencatan senjata berlangsung dalam hitungan hari, kali ini Mami memulai aktivitas itu lagi, pagi-pagi sekali. Alasannya sederhana. Hanya karena Karen terlalu cuek untuk menanggapi obrolan Mami dan Celia, Mami menganggap Karen tidak menunjukkan sikap baik dan menampakkan permusuhan. Apalagi momennya pas Papa sedang tugas ke luar negeri.
Ah, itu Mami saja yang cari-cari alasan. Mami sepertinya tak sabar untuk kembali berperang dengan Karen. Atau setidaknya mencari-cari perkara agar bisa menyalurkan emosi yang tertahan. Apa pun bisa jadi bahan omelan.
“Kamu cari kesempatan buat nentang Mami tiap Papa kamu enggak di rumah?” ucap Mami, intonasinya meninggi.
Karen bergeming, memandang lurus roti bakarnya di piring alih-alih menatap Mami.
“Jawab kalau orangtua tanya!” Kali ini suara Mami naik satu oktaf. Kemudian, dia mengomel panjang lebar.
Karen mengangkat kepala perlahan. Wajahnya tanpa ekspresi. Ekor matanya menangkap sosok Celia sedang memandangnya dalam diam. Sementara itu, Mami seperti hendak menerkam Karen bulat-bulat. Alis Mami melengkung. Jika Karen perhatikan, alis Mami meninggi dan terus naik seakan bakal melewati puncak dahi.