"Pernah mencoba hal gila?" Seorang laki-laki datang menghampiri dengan tiba-tiba membuat ku menghapus sisa-sisa air mata yang mengalir, sebagian telah mengering bersama luka hati yang telah mengering namun masih memberikan rasa sakit.
"Melompat dari sini? Kepikiran sih cuma gue masih ingin hidup" aku tersenyum kecut akan lelucon yang nampaknya membuatku terlihat seperti orang depresi atau mungkin aku memang depresi.
"Kalo melompat bikin Lo bahagia kenapa engga?" Laki-laki ini sepertinya gila atau mungkin kewarasannya hilang juga karena masalah hidup yang cukup berat.
"Akal sehat gue masih melarangnya. Gue masih setengah gila dan setengah waras untuk berani lompat" aku seperti sama gilanya menanggapi percakapan ini.
"Hidup terlalu singkat buat terus menangisi hal yang udah pergi" ia tampak bijak sekarang membuatku tampak bingung. Cepat sekali perubahannya.
"Jika menangis membuat gue sedikit lega gue harus gimana?" Hanya itu yang bisa ku jadikan tameng.
"Nangis juga cape kali kalo lama" mungkin dia mencoba menghibur ku tapi aku tak terhibur sama sekali.
"Lo ga pernah tau rasanya jadi gue" emosiku memuncak. Akhir-akhir ini aku sulit mengendalikannya terlebih banyak orang yang sering mengungkit masalahku membuat ku tak karuan.
"Ya emang, makanya gue bilang nangis terus bakal cape. Sekarang aja lo cape kan? Menyendiri di rooftop? Nangis demi ga ketahuan yang lain" aku menatapnya melihat laki-laki itu tengah menatap langit sambil menyesap kopi yang ia bawa.
Matahari mulai terbenam dan aku masih duduk bersama Arkana, laki-laki yang tengah sibuk menyesap kopi bersamaku secara tidak sengaja. Aku kemari karena memang tempat teraman untuk melarikan diri dari teman-teman yang lain sedangkan dirinya aku sendiri tak tau sedang apa kemari selain tengah menyesap kopi yang bisa ia lakukan di tempat kerja.
"Cabut yu dah mau magrib" aku menatapnya tak percaya mengajakku pergi.