Banyak film yang bercerita tentang perjalanan orang mati. Aku menonton beberapa di antaranya dan mengira bahwa proses yang disampaikan cerita itu adalah valid. Namun, mungkin para penulis skenario terlalu menambahkan terlalu banyak bumbu sehingga tanpa sadar terlalu memanusiakan roh. Tidak ada perjalanan panjang, tidak ada sentuhan dengan entitas lain. Ketika aku memejam karena perih di mata, tahu-tahu tubuhku sudah mendarat di lantai licin nan dingin.
Sensasinya menyeramkan, membuatku kaget. Apalagi pemandangan di sekitar berubah drastis. Kamar sempit gelap, mendadak berubah menjadi ruangan super luas dengan cahaya berlimpah. Terang itu menyerang mata, menciptakan rasa sakit yang menusuk hingga ke telinga. Aku menyipitkan mata, berusaha menghalau tekanan di dalam kepala.
ASH225689 ke loket 1.568.911
Terdengar nada panggilan antrian khas rumah sakit. Suaranya begitu akrab, mirip suara panggilan dari loket poliklinik tempat Mama berobat. Setengah berharap ada Mama duduk di sebelah saat aku membuka mata. Sayangnya, sekitarku hanya kekosongan. Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada kerumunan pengantri, tidak ada pegawai rumah sakit. Aku ditinggalkan di tengah-tengah sebuah ruangan super besar dan sendirian.
Alarm bahaya berbunyi di kepalaku, membuatku refleks mendongak untuk mencari jalan kabur. Sayangnya, langit-langit tempat itu sangat tinggi, terlalu mengawang-awang hingga garis-garis petak plafonnya tidak tampak. Dinding putih bersih, menjulang tidak berujung. Tidak ada jendela, tidak ada pintu. Benar-benar hanya kekosongan, hingga aku heran dari mana asal cahaya yang berlimpah ini berasal?
“Ah, kamu ketinggalan di sini,” seru seseorang. Entah dari mana suara itu berasal, gaungnya melayang di udara.
Sekonyong-konyong, muncul lengan manusia dari udara kosong. Aku terlonjak, tetapi tidak sempat berkelit ketika lengan yang melayang itu menyambar pergelangan tangan kananku. Terasa tarikan yang tidak bisa dilawan dan aku merasa tubuhku terperosok ke dinding kenyal yang tidak terlihat. Terasa tekanan dari segala arah, menghadirkan rasa terhimpit. Namun, sensasi itu hanya berlagsung sedetik. Saat semuanya mereda, tahu-tahu aku berada tempat baru.
Ruangannya masih mirip, super luas dengan langit-langit yang tinggi tidak terhingga, tetapi kali ini penuh dengan orang. Yah, sekilas mereka tampak seperti manusia meski auranya berbeda. Aku bisa merasakan kegelapan pada sosok-sosok itu, seperti kabut hitam yang mengikuti langkah mereka. Semuanya berkumpul di satu sisi ruangan, berbaris rapi seperti tawanan perang. Sementara di hadapan mereka, berderet loket berbahan tembok putih setinggi dada yang dijaga sosok berseragam putih. Aku melongok untuk melihat wajah mereka, tetapi gagal karena terhalang semacam kaca buram.
“Kamu melihat apa?”
Suara itu terdengar lagi, menarik perhatianku pada sosok di sebelah. Lengannya yang kurus masih memegang pergelanganku, dingin dan menusuk. Ia yang membawaku pergi dari kamar. Di bawah cahaya terang ini, baru aku bisa melihat sosoknya dengan jelas.
Penampakannya tidak ubahnya lelaki biasa, mengenakan celana jin dan kemeja biru. Rambutnya setengkuk, dengan helai-helai yang mencuat di bagian atasnya. Posturnya tinggi kurus, bahunya terlalu kecil untuk ukuran laki-laki. Ia memiliki garis wajah yang lembut seperti perempuan. Namun, di balik kesan feminin itu, ia memiliki sorot mata yang tajam.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Wah, kamu benar-benar tidak punya rasa takut ya?” pujinya sambil melepaskan tanganku. “Benar-benar klien pertama yang berkesan.”
Keningku mengerut mendengar sebutannya untukku. “Klien?”
“Aku malaikat maut. Kamu jiwa pertama yang kubawa ke akhirat,” sahutnya jujur.
Aku melihat sekitar. “Ini akhirat?” tanyaku penasaran. Setelah pulih dari rasa kaget, suasana baru ini menghadirkan semacam antusias aneh. Dari dulu, aku ingin tahu dunia orang setelah kematian. Sebuah misteri yang tidak kutemukan di buku mana pun.
“Kamu mungkin tidak menyangka bentuknya begini, kan?” sosok itu menjawab sambil melihat sekeliling.
Aku mengangguk. Mirip kantor administrasi biasa, bedanya ini skala besar. Aku menatap barisan loket, ingin melihat ujungnya. Namun, garis putih yang menjadi batas tembok dan kaca pelindung itu tidak terhingga, sama halnya dengan barisan kerumunan. Sepertinya, ini bukanlah ruangan, ini lebih cocok jika disebut lorong.