Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #3

Bab 3

Mereka bilang aku mati suri.

Pagi itu, Mbak Iswari yang heran karena ponselku terus berbunyi, akhirnya menggedor pintu. Sekian lama tidak mendapat jawaban, akhirnya ia memaksa masuk. Aku jarang menguncinya, sehingga ia langsung bisa melihatku masih berbaring di pukul tujuh pagi.

Kakak iparku memanggil berkali-kali, berusaha membangunkan. Ketika aku masih tergolek tanpa respons, ia histeris dan memanggil Kak Bara. Keduanya kemudian menyadari jika detak jantungku hampir tidak terdengar. Selagi tubuhku masih hangat, Kak Bara bergegas membopongku ke mobil dan melarikanku ke rumah sakit terdekat.

Mbak Iswari kembali menceritakan kekalutan kemarin pagi sambil mengulas syukur. Ia menemaniku di rumah sakit sementara Kak Bara bekerja. Aku jadi tidak enak karena insiden ini membuatnya harus bolos bekerja dua hari ini.

Mereka memaksa agar aku dirawat, katanya untuk observasi. Padahal, tidak ada yang salah dengan kondisiku. Dokter juga tidak menemukan alasan kenapa jantungku bisa berhenti berdetak tadi malam. Aku sempat memaksa pulang, tetapi tetap tidak diizinkan.

Aku berbaring di ranjang tanpa suara. Ingatanku kembali melayang pada insiden kemarin. Sejujurnya, pengalaman ini sangatlah absud, sama mustahilnya dengan cerita jika Kak Bara mencemaskanku. Namun, Mbak Iswari jelas-jelas berkata jika lelaki itu pucat pasi saat tahu  napasku berhenti. Ia bahkan sampai menangis saat dokter berhenti melakukan resusitasi jantung ketika detak jantungku benar-benar tidak diselamatkan.

Sungguh, bayangan Kak Bara menangisiku sama sekali tidak seperti kenyataan. Aku ragu mempercayainya. Barangkali Mbak Iswari terlalu kalut hingga salah mengenali.

“Apa yang kamu rasakan saat mati suri kemarin?” tanya Mbak Iswari, akhirnya menanyakan hal ini. Aku tahu ia penasaran, tetapi cukup sabar untuk tidak memintaku bercerita sejak kemarin.

Aku menggeleng. Bisa saja aku membeberkan tentang pengalaman gagak masuk akhirat itu. Namun, aku sendiri tidak mempercayainya. Bisa saja itu hanya mimpi, kan?

“Benar-benar tidak ada merasakan apa-apa? Mimpi aneh barangkali?”

Gelenganku mematahkan rasa penasarannya. Mbak Iswari pun memintaku untuk kembali beristirahat.

“Mbak pulang saja. Aku tidak apa-apa di sini sendirian,” kataku. Titik-titik cairan infus menjadi saksi betapa teguhnya senyum yang kusunggingkan demi membuat hatinya tenang. Namun, gelengannya menganggah usahaku mencari kesendirian.

“Nggak, apa-apa. Sebentar lagi kamu sudah boleh pulang. Kita hanya nunggu visit dokter saja,” katanya. “Kamu istirahat sajalah dulu.”

Aku mengangguk, memaksakan senyum. Tidak mungkin memaksanya pergi meski keberadaannya membuatku tidak nyaman, kan? Akhirnya, aku menutup mata, pura-pura tertidur hanya agar terhindar dari obrolan.

Mungkin aku jahat, tetapi aku tidak merasakan kedekatan dengannya. Kami tidak memiliki hubungan darah, label keluarga hanya didapat karena statusku sebagai anak angkat Mama. Dua puluh empat jam lebih yang kami habiskan bersama di ruangan ini tidak bisa membuatku merasa nyaman bersamanya. Lagipula, bagaimana aku bisa menganggapnya saudara jika suaminya sendiri, tidak menganggapku adik?

Bunyi geretan terdengar dari luar ruangan diikuti ketukan di pintu. Dua orang masuk, setelah salam formal, kemudian melakukan pemeriksaan. Tekanan darahku normal, begitu pula angka di oksimeter. Tidak ada yang salah dengan kondisiku, tubuhku sehat. Tanpa penjelasan yang berarti, akhirnya aku dipulangkan.

Kami menyewa taksi dan sampai di rumah menjelang sore. Kak Bara masih bekerja. Kami hanya disambut pertanyaan heran para tetangga. Tetangga sebelah rumah melihatku dibopong ke mobil dan berita aku dilarikan ke rumah sakit sudah tersebar ke satu gang.

“Jara kecapekan, Om,” sahut Mbak Iswari pada salah satunya. Kami dihadang saat membuka gerbang.

Aku tersenyum rikuh, kemudian masuk lewat celah pagar yang dibuat Mbak Iswari. Sementara ia melayani pertanyaan tetangga dengan ramah, aku masuk rumah, dan langsung menuju kamar.

Ponsel tergeletak di kasur kehabisan baterai. Tumpukan kertas bercampur dengan amplop cokelat di meja sebelah dipan. Sepraiku rapi, bantal dan guling tersusun di hulu tempat tidur. Sepertinya Kak Bara membereskan kamarku tadi pagi.

Aku langsung menyambungkan ponsel ke pengisi daya dan menunggu gawai itu hidup. Ada pesan yang aku tunggu dari salah satu perusahaan tempatku menaruh lamaran. Namun, hanya pesan-pesan dan panggilan dari teman-teman yang mengisi kotak masukku. Tidak ada telepon atau pesan dari nomor baru. Yah, aku gagal lagi mendapatkan pekerjaan.

“Ra, mandi dulu. Mumpung makanannya belum darang,” panggil Mbak Iswari dari arah dapur. Aku mengiakan, kemudian masuk kamar mandi. Sekitar sepuluh menit, aku membilas tubuh dengan air dingin. Rasanya sungguh segar, membuat rasa pusing karena berbaring seharian ini lenyap.

Seusai mandi, aku keluar lewat pintu belakang untuk menjemur handuk. Beberapa potong pakaian yang aku cuci tiga hari lalu sudah kering. Setelah menyampirkan handuk di bahu, aku melipatnya hati-hati agar tidak lecek.

“Jara, kemarin kenapa?”

Lihat selengkapnya