“Oh, itu. Tadi… tadi ada kecoa terbang.”
Jawaban itu membuat ketegangan di wajah kakak dan kakak iparku mengendur. Helaan napas mereka terdengar lega. Jawaban yang konyol. Namun, barangkali karena aku baru bangkit dari kematian sehingga keduanya memaklumi jawaban bodohku.
Aku bangkit dengan segera dan berkata, “Nggak apa-apa. Aku hanya… kaget.”
“Ya sudah, syukur bukan apa-apa,” kata Mbak Iswari. Bersama sang suami, ia pun keluar dari kamar.
Setelah keduanya menghilang, buru-buru aku menutup pintu. Tubuhku masih lemas, kakiku setengah gemetar. Sungguh, tadi itu aku benar-benar terkejut. Sosok itu begitu nyata, seakan keluar dari imajinasiku.
“Nggak, itu nggak benar-benar nyata,” gumamku meyakinkan diri sendiri.
Sekonyong-konyong, sebuah suara menyahut dari belakang. “Apa yang nggak nyata?”
Aku berbalik, membeku saat melihat sosok itu berada persis di hadapanku. Cengirannya, ujung rambutnya yang runcing menyentuh leher, aura cerah yang membayangi seluruh tubuhnya. Semuanya terlihat begitu nyata sekaligus menakutkan.
Aku membekap mulut, menahan jerit. Jangan tanya jantungku, degup yang tercipta oleh imajinasi barusan saja belum mereda. Setengah terhuyung, aku mundur hingga punggung membentur pintu.
“Reaksimu sebagai manusia sungguh beda dengan kamu sebagai roh. Sekarang, kamu tampak lebih…. hidup,” katanya.
Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan denyut jantung. Selagi sosok itu berdiri cengengesan sambil meledek keterkejutanku, aku mengamati sosoknya lebih jelas. Ia setinggi Kak Bara, dengan postur lebih kurus dan agak bungkuk. Lelaki ini, yang dalam mimpi membawaku ke akhirat. Apakah itu benar-benar dia? Apa aku bermimpi lagi.
Sosok itu mendekat. Langkah kakinya tidak terdengar, sosoknya juga bagai melayang. Namun, ia jelas-jelas melangkah. Kedua kaki dengan sneaker putih itu benar-benar menyentuh lantai.
“Ka… kamu siapa?”
Keningnya mengerut. Tawanya pecah saat memperhatikan tingkahku aku yang seperti anak ayam kehabisan tempat pelarian.
“Kita sudah pernah bertemu. Masak kamu lupa?” tanyanya.
Lagi-lagi aku menelan ludah. Tentu saja aku masih ingat dengannya. Mimpi tentangnya terasa begitu nyata dan justru itu yang membuatku semakin kaget. Ia begitu kasatmata untuk kusebut mimpi.
“Wah, kukira kamu kangen denganku. Tanggapanmu ini bikin aku sedih,” lanjutnya dengan mimik ngambek bak anak kecil. “Padahal aku jauh-jauh ke sini hanya untuk ketemu sama kamu.”
“Ka… kamu benar-benar hidup?” tanyaku takut.
“Aku hidup di kepalamu, mungkin,” sahutnya sambil tergelak.
Tawanya renyah, gesturnya bersahabat. Tingkah laku itu membuat keteganganku mengendur. Meski mencurigakan, ia tidak tampak seperti orang jahat. Sebaliknya, ia seperti anak kecil yang riang dan ramah. Aku pun merasakan kewaspadaanku menurun, bergantikan perasaan aman.
“Apa kamu benar-benar malaikat maut?” tanyaku skeptis.
“Menurutmu?” tanyanya balik.
Rasa penasaran mendorong telunjuk kananku terangkat ke arahnya. Namun, beberapa senti menuju bahunya, jariku membeku karena ragu. Sosok itu mungkin sadar aku masih bimbang, akhirnya memajukan bahu agar terjadi sentuhan. Namun, suasana berubah horor saat ujung jariku malah menembus bahunya.
“Kamu… tidak bisa disentuh,” kataku lirih. Bulu kudukku berdiri dan aku spontan menarik tangan. Rasa ngeri itu muncul lagi, membuatku makin meringsek ke pintu.