Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #5

Bab 5

Polisi memperkirakan keduanya sudah meninggal sejak dua minggu lalu. Kami, para tetangga merasa prihatin dan juga bersalah karena tidak menanggapi ketidakmunculan mereka di teras selama ini. Selain itu, kami juga tidak menganggap serius bau busuk yang pernah tercium di sekitar gang. Semuanya mengira itu bau bangkai tikus got yang memang banyak berkeliaran.

Aku, Mbak Iswari, dan Kak Bara sebenarnya tidak mencium aroma apa-apa karena arah angin membawa bau itu ke rumah tetangga di seberang. Namun, tetap saja kami juga bersalah karena abai dengan sekitar. Karena itu, kami hanya bisa menunduk saat kantung yang berisikan mayat keduanya, dibopong keluar dari rumah.

Penemuan mayat mereka dimulai oleh kunjungan reguler panti jompo yang ada di dekat sini. Secara rutin, mereka mengunjungi Kakek dan Nenek Sahir sekali dalam sebulan. Berkali-kali dipanggil, keduanya tidak kunjung menyahut. Akhirnya, bersama tetangga sekitar dan ketua RW, mereka mendobrak pintu.

Polisi datang tidak lama kemudian setelah menerima laporan. Setelah selesai membereskan jenazah, mereka pun mulai menanyai para tetangga. Aku diinterogasi secara khusus di ruang tamu setelah Mbak Iswari sempat keceplosan dengan percakapanku di teras belakang.

“Benar Mbak ngobrol dengan korban semalam?” tanya salah satu dari mereka. Intonasi suaranya terkesan mengintimidasi, sehingga membuatku menyahut dengan ragu.

“I… iya, rasanya itu dia,” sahutku.

Polisi itu mengerutkan kening. “Kok tidak yakin begitu?”

“Ya, soalnya… soalnya Bapak bilang Kakek sudah meninggal dua minggu lalu, jadi apa mungkin itu dia?”

Mbak Iswari yang duduk di sebelah memegang tanganku, seolah tahu mendadak gugup. Yah, siapa yang tidak kalut dengan situasi seperti ini? Jelas-jelas, aku mengobrol dengannya kemarin dan aku sampai melongok lewat atas pagar untuk melihat sosoknya. Suaranya mirip, begitu juga posturnya. Meski penerangan minim, aku yakin itu adalah dia.

Namun, tetanggaku itu jelas-jelas sudah menjadi kerangka. Waktu kematian tidak mungkin tadi malam, kan? Jadi, jika itu bukan dia, siapa yang aku ajak bicara tempo hari itu? Mungkinkah itu rohnya?

Memikirkan entitas lain, bulu kudukku meremang. Otomatis ingatanku melayang pada mimpi masuk akhirat tempo hari. Apakah ini adalah hubungannya?

“Kalian membicarakan apa?” lanjut petugas polisi.

Aku pun menceritakan apa yang kudengar dari Kakek Sahir, tentang kiriman makanan dari teman anaknya, kunjungan tiap hari orang itu. Petugas mencatat keteranganku dengan cepat dan menanyakan hal-hal lain. Ia menyudahi wawancara ketika jawaban yang ia terima hanya gelengan.

“Bapak dan Ibu, apa tidak sadar jika tetangganya tidak pernah kelihatan?” tanya polisi tersebut pada Mbak Iswari dan Kak Bara.

“Sebenarnya sadar, sih, Pak. Saya dan suami sempat bertanya-tanya, kenapa Kakek dan Nenek kok tidak pernah lewat di depan rumah. Biasanya, mereka sering jalan berdua untuk ke warung depan. Iya, kan, Mas?” sahutnya sambil melirik Kak Bara, seolah meminta dukungan. Kakak angkatku itu pun mengangguk.

“Lalu, Ibu tidak terpikir untuk memeriksa keadaan mereka?” lanjut petugas.

Intonasi menghakimi tersebut membuat keduanya terkelu. Rautnya berubah, penuh dengan rasa bersalah.

“Iya, harusnya kami memeriksa, Pak. Tapi… tapi saya dan suami kerja, berangkat pagi pulang sore. Kadang suami juga sampai malam. Jadi di rumah itu memang full istirahat dan…”

Suara Mbak Iswari memelan dan menghilang dengan sendirinya. Ia pun menunduk, menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.

“Hmmmm begitu ya,” gumam petugas itu sambil menutup buku laporannya. Ia tidak berkata apa-apa lagi, tetapi dengusan sinis dan gelengannya sudah menyampaikannya sindiran terhadap ketidakpedulian kami. Kami pun terdiam, sadar dengan kesalahan masing-masing.

“Tolong laporkan jika Mbak ingat hal lainnya,” kata petugas padaku saat berpamitan.

Kata ‘iya’ keluar dengan amat lirih dari bibirku. Aku masih terkelu dengan rasa sesal sehingga tidak berani menatap langsung mata petugas itu. Suasana hatiku juga berubah buruk. Karena itu, ketika Mbak Iswari dan Kak Bara bergabung dengan tetangga di gang, aku masuk kamar dan mengunci pintu.

Aku duduk di pinggir kasur, berusaha menenangkan detak jantung. Dua minggu belakangan ini, aku lebih sering di rumah. Ada belasan hari, ribuan kali kesempatan. Namun, kenapa aku tidak ada keinginan untuk menyapa Kakek dan Nenek di sebelah? Padahal, biasanya aku sering mengintip keseharian mereka lewat halaman belakang. Kadang berteriak-teriak memanggil saat mencium aroma sedap dari dapur mereka. Akan tetapi, kenapa aku malah memilih berdiam diri di kamar dan fokus mencari cara agar bisa keluar dari rumah ini?

Aku meringis, menjambak rambut. Kejadian tragis ini membuat dadaku dipenuhi rasa bersalah. Apalagi jika ingat obrolan di halaman belakang kemarin sore itu, siapa pula yang aku ajak bicara? Apakah itu hanya ilusi? Atau, jangan-jangan itu memang arwahnya Kakek Sahir?

“Pusing ya?” tanya seseorang dari arah belakang. Suaranya yang muncul tiba-tiba itu, membuatku kaget. Aku menoleh, terlonjak. Wajah itu muncul di layar laptopku.

“Ke… kenapa ada di sana?” tanyaku terbata. Pemandangan ganjil itu bertambah ngeri ketika sosok itu tiba-tiba meloncat keluar dari laptop dan berdiri di sebelah meja belajar.

Aku membekap mulut, menjerit. Tubuhku menjauh darinya dan terdesak hingga ujung ranjang.

“Pertunjukanku terlalu ekstrem ya?” kelakarnya. “Besok-besok, aku akan mempertontonkan yang lebih seru lagi. Tampang takutmu menyenangkan untuk dilihat.”

Aku mengatur napas, berusaha agar jantungku tidak kabur karena terlalu cepat bekerja. Sementara ia masih mondar-mandir di samping meja belajar, aku mengurut dada demi menurunkan ketegangan.

“Yang kamu ajak bicara itu, itu rohnya. Dia arwah gentayangan, bahkan sekarang pun masih ada di sebelah,” katanya lagi sambil tergelak.

Lihat selengkapnya