Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #7

Bab 7

Dari hasil pemeriksaan, polisi menemukan ada sianida dalam kadar yang cukup tinggi pada kedua kerangka korban. Hal ini juga didukung dengan contoh muntahan yang ada di lantai kamar. Temuan itu menguatkan dugaan polisi tentang penyebab kematian korban. Karena fakta itu cocok dengan keterangan yang aku sampaikan tempo hari, mereka pun kembali menemuiku.

“Apakah yang kamu ajak bicara itu benar-benar korban?” tanya mereka dengan sorot mata penuh selidik.

Interogasi ini membuatku cukup tegang. Cara mereka bertanya, gesturnya, nadanya. Semua dari mereka membuatku was-was. Namun, kenyataan tentang tetanggaku yang meninggal karena diracun membuat keberanianku tumbuh. Selama mereka hidup, aku acapkali mengabaikan keduanya. Setidaknya, aku bisa membantu menemukan pembunuh mereka.

“Saat itu menjelang gelap. Sosoknya agak samar, tapi saya kira itu benar Kakek Sahir. Entah saya salah atau bagaimana, saya tidak yakin.”

Tentu saja aku tidak harus menyampaikan fakta bahwa diriku bisa melihat arwah. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Lagi pula, keteranganku juga tidak mengada-ada. Jadi, jikapun mereka menelusuri kebenarannya, mereka pasti akan menemukan bukti.

“Apa saja yang disampaikannya?”

Maka, aku kembali mengulang cerita yang dulu sudah kusampaikan. Keterangan yang sama, tidak aku tambahkan, tidak dikurangi. Ketika mereka bertanya lebih detail, tentu aku kesulitan karena obrolan kami memang hanya segitu.

“Jadi, poinnya, ada yang membawakan makanan, mengaku teman anaknya yang sudah lama hilang. Orang itu kemudian sering kelihatan di depan rumah, tetapi tidak pernah mampir. Itu saja?”

Aku mengangguk.

“Beberapa tetangga memasang CCTV, mungkin bisa diawali dengan meminta rekamannya,” saran Mbak Iswari.

Kedua petugas mengangguk dan berkata akan memeriksa rekaman CCTV di sekitar rumah. Salah satu dari mereka kemudian memberiku kartu nama. Jadi jika teringat atau menemukan sesuatu, aku diminta menghubunginya.

Aku memegang kertas itu dan membaca nama yang tertera di sana. Hariza Dio. Sebelum keduanya lenyap, buru-buru aku ke kamar dan mengunci pintu.

“Hei, kamu di sini, kan? Ayo keluar!” perintahku sambil melihat berkeliling. “Ah, kamu itu, seenaknya saja. Selalu muncul tanpa diminta. Tetapi saat dipanggil-panggil, mendadak menghilang.”

Sekonyong-konyongnya, sebuah suara menyahut. “Kamu memanggilku seperti memanggil anjing sih.”

Aku memeriksa sekitar, tetapi sosoknya tidak tampak di mana pun.

“Di atas,” katanya.

Aku mendongak, terkejut saat melihat sosoknya ada di langit-langit dengan posisi yang amat ganjil. Ia tergantung dalam posisi tubuh melenting ke bawah, dengan kaki dan tangan menempel di plafon. Penampakannya mirip orang kayang di langit-langit. Jika ditambah properti darah tiruan dan make up gothic, aku yakin akan pingsan karena mengira melihat hantu.

Ia tertawa melihat reaksiku. Sekali lentingan, tubuhnya lenyap dan muncul di hadapanku dalam posisi tegak.

“Bisakah kamu muncul di hadapanku tanpa pertunjukan mengerikan macam itu?” geramku.

“Bagaimana, sudah mirip kuntilanak di film-film yang kamu tonton itu?” tanyanya usil.

“Kenapa kamu tahu aku suka nonton film kuntilanak?” sergahku. Gerakan konyol pada alis dan senyumnya membuatku curiga. “Kamu mengintipku ya?”

Ia melewatiku yang masih mengurut dada untuk kembali melihat foto-foto. Entah kenapa ia begitu tertarik dengan bagian itu.

“Foto-foto ini ini sungguh membuatku iri. Kalian, para manusia memiliki satu hal yang tidak kami punya,” katanya.

“Apa?”

Lihat selengkapnya