Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #8

Bab 8

“Sekarang kamu percaya jika kamu punya kembaran?”

Pertanyaan itu datang dari si malaikat maut yang sedang duduk di meja belajar. Kedua kakinya berayun-ayun riang, sementara tangannya bertumpu di kedua sisi tubuh. Ada raut senang dan puas yang terpancar dari matanya, seakan-akan hendak mengejek diriku yang selama ini meragukannya.

“Aku bisa membantumu mencarinya,” lanjutnya sambil melompat turun. Ia mendekatiku, menggodaku dengan gerakan alis dan mimik wajah.

Aku tersenyum sinis. “Memangnya kamu bisa?”

Ia tertawa. “Tentu saja bisa. Aku tinggal menguping obrolan mereka.”

Jawabannya membuatku ingin mencemooh. “Tidak ada usaha lebih terhormat yang bisa dilakukan malaikat maut sepertimu?”

“Misalnya?”

Aku berpikir. “Mencuri buku kehidupan raja akhirat mungkin?”

Tawanya terdengar hambar. “Tidak ada buku seperti itu. Sekarang sudah canggih. Semuanya sudah dalam bentuk digital.”

Giliran tawaku yang mengejek. “Jangan bilang kalian mengadaftasi sistem yang dibuat manusia? Plagiat dong?”

Ia mengabaikan cemoohku. “Jika kamu mau mencari kembaranmu, aku akan membantumu urusan kakek di sebelah,” katanya.

Tentu saja ini adalah tawaran yang menyenangkan. Senyumku melebar karenanya. Meski dalam hati tetap heran, kenapa ia begitu ngotot mencari kembaranku?

“Besok kita bicara padanya,” kataku.

Si malaikat menggeleng. “Harus sekarang. Ia akan dijemput sebentar lagi.”

Aku kaget, bagaimana ia bisa tahu kapan kematian yang sebenarnya itu akan datang. Si malaikat mengendus-undus, lalu berkata, “Aromanya sepat, persis seperti bau kematian.”

Aku menghidu udara, tetapi tidak menghirup aroma aneh. Si malaikat tertawa melihat aksiku, kemudian berkata, “Tidak kecium? Artinya indera penciumanmu tidak terasah oleh kematian. Kenapa hanya matamu ya?”

Aku tidak memedulikan ejekannya. Fokusku masih pada tetangga sebelah. Kami harus segera menemuinya sebelum ia meninggalkan dunia ini.

Aku keluar kamar dengan langkah tanpa suara. Sambil mengendap-endap, aku melewati ruang tengah. Tidak ada suara apa-apa dari kamar kakak dan kakak iparku, barangkali mereka sudah selesai berdebat dan memutuskan untuk tidur.

Aku sampai di pintu belakang, membukanya dengan perlahan. Dengung mesin pendingin tetangga langsung terdengar di antara kesunyian. Getarannya menyergap telinga, membekapku dengan rasa tegang.

Tidak ada derik jangkerik atau serangga malam. Alam sekitarku sudah penuh dengan hutan beton sehingga mereka tidak bisa hidup lagi. Sebagai gantinya, raungan kendaraan terdengar di kejauhan, silih berganti dengan bunyi meteran listrik yang tokennya sudah habis.

Suasana di rumah sebelah sepi dan temaram. Kilatan cahaya yang biasanya terpantul pada jendela meredup oleh lapisan debu di permukaan kaca rumah mereka. Aku melongok melewati bagian atas pagar, mencoba mencari-cari. Namun, pendar kebiruan itu tidak nampak.

“Hei, kamu di mana?” tanyaku ke sekitar, mencari-cari sosok malaikat maut sialan itu. Ia tidak muncul di mana pun, bahkan setelah aku panggil berkali-kali. Akhirnya, kesal menunggu makhluk itu menampakkan diri, aku nekat memanjat pagar.

Mendaki ketinggian adalah hal mudah, tetapi turun tanpa menimbul bunyi sedikit menantang. Jika aku meloncat, maka bunyi gedebug akan terdengar hingga kamar kakakku. Akhirnya, aku menurunkan dua kaki secara perlahan sambil berpegangan pada pinggir pagar. Rasa perih terasa ketika kulit tergores sisi tajam beton, lututku juga terantuk bebatuan yang menempel di sisi bawah pagar. Jangan tanyakan kakiku yang telanjang. Tusukan terasa begitu menapak di halaman Kakek Sahir yang berlapiskan bebatuan dan rumput yang sudah meranggas.

“Gerakanmu seperti bayi yang baru belajar merangkak,” seloroh si malaikat. Ia berjongkok di dekat pohon mangga sambil memperhatikanku.

Aku melotot, sedetik kemudian meringis menahan sakit di telapak kaki. Si malaikat sialan berdiri sambil membekap mulutnya untuk menahan tawa. Ekspresinya tampak begitu puas saat berhasil menemukan sisi konyol dalam diriku.

“Kakek Sahir di mana?” bisikku sambil melihat sekitar. Dari sini, aku bisa melihat jalanan yang banjir oleh cahaya dan juga teras tetangga seberang. Di sana tenang dan sepi, mobil-mobil terparkir di garasi, pintu dan jendela rumah tertutup. Keheningan ini membuat semuanya tampak asing, membuatku seakan berada di alam lain.

Si malaikat tidak menyahut, masih diam seakan menjadi arwah penunggu pohon mangga. Aku melotot padanya, lanjut mengendap-endap menuju pintu belakang rumah.

Angin berembus, menciptakan sensasi dingin yang menggigit. Aku terus melangkah hingga area berbatu berakhir, bergantikan lantai paving. Kersik terdengar begitu kakiku menginjak daun kering. Bunyinya selaras dengan detak jantungku, makin meningkat ketika bilahan kayu bercat cokelat itu mendekat.

Aku mencapai pintu, kembali memeriksa sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mendapatiku mencoba membobol rumah orang yang sudah meninggal. Si malaikat mengedikkan kepala, kembali mengejekku dengan kerling usilnya dari bawah pohon mangga. Aku mendelik, kemudian fokus pada pintu.

Bilahan kayu itu tertutup rapat, tetapi aku merasakan getaran aneh dari baliknya. Saat embusan angin datang, samar-samar aku mencium aroma tidak sedap. Baunya mirip bangkai tikus yang mati di plafon kamar. Baunya sangat menganggu, aku curiga itu berasal dari dalam rumah yang terkungkung. Sementara tangan kiriku membekap hidup, tangan kanan terjulur ke gagang pintu.

Lihat selengkapnya