Jedai untuk Jara

Suarcani
Chapter #9

Bab 9

Sesuatu menggelitik telingaku dan membuatku terbangun. Aku terkesiap, terengah sambil bersimbah keringat. Aku membuka mata, terkejut menyaksikan langit-langit kotor yang penuh sarang laba-laba serta jelaga. Di sekitarku berantakan, sampah dan pakaian berserakan di lantai. Debu beterbangan, titik-titiknya tampak disorot oleh cahaya matahari yang masuk lewat atap yang bocor.

Di mana ini? Kenapa tempat ini terasa asing?

“Kamu sudah sadar?” terdengar teguran. Aku memutar kepala ke arah kanan dan secara tidak sengaja terantuk sampah pembungkus makanan. Debu berterbangan, menyerang hidung. Aku duduk dengan tergopoh, kemudian bersin.

“Aw, ingusmu terbang ke mana-mana,” seloroh si malaikat magang dengan gestur jijik.

Aku mendelik padanya, lalu melihat sekeliling. Ah, aku masih berada di rumah Kakek Sahir. Jam berapa ini? Berapa lama aku tertidur?

Semalam, setelah kejadian itu, tubuhku terasa amat lemas. Aku berusaha berdiri, tetapi kedua kakiku goyah. Mustahil untuk berjalan, apalagi melompati pagar, akhirnya aku membiarkan diriku tergolek di lantai. Tanpa sadar, aku ketiduran sehingga sesiang ini.

“Jangan terburu-buru. Di luar masih banyak orang. Sepertinya mereka bingung karena salah satu warganya menghilang. Jika ketahuan nginap di rumah berhantu, bisa heboh setahun,” kata si malaikat sambil tertawa.

Sindiran itu membuatku menepuk dahi. Di luar sana terang benderang. Dari derajat arah sinar, tampaknya sudah lewat jam sembilan pagi. Mbak Iswari pasti sudah menyadari bahwa aku tidak ada di kamar. Si malaikat sialan benar, jika aku keluar dari rumah ini, semua akan heboh. Bisa-bisa misteri kehilanganku akan disangkutpautkan dengan insiden pasangan lansia ini. Aduh, aku tidak mau terkenal jalur musibah begini. Kira-kira, bagaimana caraku keluar dari rumah ini tanpa menimbulkan kehebohan dan prasangka?

Aku bangkit, membersihkan pakaian dari debu sambil melihat sekeliling. Namun, pandanganku berkunang-kunang begitu berdiri. Perutku juga sedikit mual. Rasa pusingnya menyengat, membuatku hingga mengernyit. Ada apa dengan tubuhku?

 “Rumah belakang kosong, kamu bisa keluar lewat sana dan pura-pura olahraga pagi,” usul si malaikat.

Aku mengabaikan pusing dan mual itu, kemudian menatapnya tajam.

Di siang hari, sosoknya lusuhnya tampak tidak ubahnya dengan manusia biasa. Penampakannya ini membuatku lagi-lagi lupa jika ia adalah seorang malaikat. Aku kembali mengangkat tangan, mencoba untuk menyentuh lengannya. Telunjukku teracung, siap mencolek. Namun, mengingat bagaimana jari itu akan menembus tubuhnya, aku membatalkan niat. Sensasi ngerinya masih terasa meskipun pemandangan itu sudah lewat.

“Kenapa? Masih penasaran?” sindirnya.

Aku menggeleng, kemudian kembali ke dapur. Di dekat rak piring, aku menemukan sebuah sandal usang. Kakiku bertelanjang, alibi jalan pagi tentu mencurigakan. Aku pun mengenakan sandal itu sambil meminta maaf dalam hati atas pencurian kecil ini.

Suasana siang halaman rumah ini lebih nyaman ketimbang malam hari. Pohon mangga yang rindang memberi perlindungan dari sinar dan pandangan orang sekitar. Aku memeriksa sekeliling, memastikan tidak ada orang di jalanan yang bisa menyaksikan kehadiranku. Setelah aman, aku berjingkat ke tembok belakang dan memeriksa.

Pagar itu tidak begitu tinggi. Sayangnya, ujungnya diberi pecahan kaca sehingga menyusahkan untuk dipanjat. Selain itu, halaman tetangga belakang juga lebih rendah, jadi jika aku meloncat dari sini, setidaknya kakiku mungkin keseleo atau mungkin patah.

Aku menemukan sebuah kursi usang tersandar ke tembok yang mengarah tetangga belakang. Kursi itu sedikit reyot, terbuat dari kayu yang sudah rapuh di satu sudutnya. Beberapa batang paku karatan menyembul, menciptakan sensasi yang sama ngerinya dengan peristiwa semalam. Aku pun menggoyangkan beberapa kali untuk memastikan paku-paku itu menoreh kulit dan ancaman tetanus.

Lihat selengkapnya